Yang Tanpa Sebab
Akammajādipañha (Mil 6.2 5)
65. Yang Tanpa Sebab
“Nagasena, ada hal-hal di dunia ini yang menjadi ada karena karma, ada yang merupakan hasil dari suatu sebab, dan ada yang dihasilkan oleh musim. Terangkanlah, apakah ada yang tidak termasuk di dalam tiga kategori itu?”
“Ada dua hal, O baginda: ruang dan nibbana.”
“Yang Mulia Nagasena, janganlah mengubah kata-kata Sang Penakluk, atau menjawab pertanyaan tanpa mengetahui apa yang Anda katakan!”
“Apa yang telah saya katakan, O baginda, sehingga baginda berkata demikian?”
“Yang Mulia, memang betul apa yang Anda katakana tentang ruang. Tetapi dengan ratusan alasan Sang Buddha menyatakan pada siswa-Nya cara menuju perwujudan nibbana. Dan Anda mengatakan bahwa nibbana bukanlah hasil dari suatu sebab.”
“Memang benar, O baginda, dengan banyak cara Sang Buddha menunjukkan jalan bagi perwujudan nibbana, tetapi Beliau tidak menunjukkan sebab bagi timbulnya nibbana.”
“Di sini, Nagasena, kami melangkah dari kegelapan menuju ke kegelapan yang lebih pekat; dari ketidakpastian menuju ke kebingungan total. Jika ada ayah dari seorang anak maka kami berharap dapat menemukan ayah dari si ayah itu. Demikian juga, jika ada penyebab bagi perwujudan nibbana, maka kami mengharapkan dapat menemukan penyebab bagi timbulnya nibbana itu.”
“Nibbana, O baginda, tidak dibentuk, dan karenanya tidak ada sebab yang dapat ditunjuk bagi pembuatannya. Tidak dapat dikatakan bahwa nibbana itu telah timbul atau dapat timbul; bahwa nibbana itu adalah masa lalu, masa kini atau masa mendatang; atau dapat dikenali dengan mata, telinga, hidung, lidah atau tubuh.”
“Kalau begitu, Nagasena, nibbana adalah kondisi yang tidak ada!”
“Nibbana itu ada, O baginda, dan dapat dikenali lewat pikiran. Seorang siswa luhur yang pikirannya murni, mulia, tulus, tidak terhalang, dan bebas dari kemelekatan akan dapat mencapai nibbana.”
“Kalau begitu, jelaskanlah dengan perumpamaan, apakah nibbana itu?”
“Apakah ada sesuatu yang disebut angin?”
“Ya, ada.”
“Kalau begitu, jelaskanlah dengan perumpamaan, apakah angin itu?”
“Tidaklah mungkin dapat menjelaskan apa angin itu dengan menggunakan perumpamaan, tetapi toh angin itu ada.”
“Demikian juga, O baginda, nibbana itu ada tetapi tidak mungkin digambarkan.”
“Nagasena, ada hal-hal di dunia ini yang menjadi ada karena karma, ada yang merupakan hasil dari suatu sebab, dan ada yang dihasilkan oleh musim. Terangkanlah, apakah ada yang tidak termasuk di dalam tiga kategori itu?”
“Ada dua hal, O baginda: ruang dan nibbana.”
“Yang Mulia Nagasena, janganlah mengubah kata-kata Sang Penakluk, atau menjawab pertanyaan tanpa mengetahui apa yang Anda katakan!”
“Apa yang telah saya katakan, O baginda, sehingga baginda berkata demikian?”
“Yang Mulia, memang betul apa yang Anda katakana tentang ruang. Tetapi dengan ratusan alasan Sang Buddha menyatakan pada siswa-Nya cara menuju perwujudan nibbana. Dan Anda mengatakan bahwa nibbana bukanlah hasil dari suatu sebab.”
“Memang benar, O baginda, dengan banyak cara Sang Buddha menunjukkan jalan bagi perwujudan nibbana, tetapi Beliau tidak menunjukkan sebab bagi timbulnya nibbana.”
“Di sini, Nagasena, kami melangkah dari kegelapan menuju ke kegelapan yang lebih pekat; dari ketidakpastian menuju ke kebingungan total. Jika ada ayah dari seorang anak maka kami berharap dapat menemukan ayah dari si ayah itu. Demikian juga, jika ada penyebab bagi perwujudan nibbana, maka kami mengharapkan dapat menemukan penyebab bagi timbulnya nibbana itu.”
“Nibbana, O baginda, tidak dibentuk, dan karenanya tidak ada sebab yang dapat ditunjuk bagi pembuatannya. Tidak dapat dikatakan bahwa nibbana itu telah timbul atau dapat timbul; bahwa nibbana itu adalah masa lalu, masa kini atau masa mendatang; atau dapat dikenali dengan mata, telinga, hidung, lidah atau tubuh.”
“Kalau begitu, Nagasena, nibbana adalah kondisi yang tidak ada!”
“Nibbana itu ada, O baginda, dan dapat dikenali lewat pikiran. Seorang siswa luhur yang pikirannya murni, mulia, tulus, tidak terhalang, dan bebas dari kemelekatan akan dapat mencapai nibbana.”
“Kalau begitu, jelaskanlah dengan perumpamaan, apakah nibbana itu?”
“Apakah ada sesuatu yang disebut angin?”
“Ya, ada.”
“Kalau begitu, jelaskanlah dengan perumpamaan, apakah angin itu?”
“Tidaklah mungkin dapat menjelaskan apa angin itu dengan menggunakan perumpamaan, tetapi toh angin itu ada.”
“Demikian juga, O baginda, nibbana itu ada tetapi tidak mungkin digambarkan.”
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com