Sariputta | Suttapitaka | Latihan yang Amat Keras Sariputta

Latihan yang Amat Keras

Dukka­ra­kārika­pañha (Mil 6.3 2)

72. Latihan yang Amat Keras

“Apakah semua Bodhisatta berlatih amat keras, atau hanya Bodhisatta Gotama?”

“Hanya Bodhisatta Gotama. Ada empat perbedaan di antara para Bodhisatta, yaitu tentang:

keluarga (yaitu kasta ksatria atau kasta brahmana),
lamanya waktu untuk mengembangkan kesempurnaan,
masa hidup, dan
ketinggiannya.

Tetapi tidak ada perbedaan di antara para Buddha dalam hal moralitas atau kebijaksanaan. Untuk membawa pengetahuannya menuju kematanganlah maka beliau harus berlatih amat keras.”

“Kalau begitu, Nagasena, mengapa beliau pergi ketika pengetahuannya masih belum matang? Mengapa beliau tidak mematangkan pengetahuannya terlebih dahulu dan kemudian baru meninggalkan kehidupan duniawi?”

“Ketika Bodhisatta, O baginda, melihat wanita di haremnya tidur dengan tidak keruan, beliau merasa muak dan tidak puas. Ketika melihat bahwa pikiran beliau dipenuhi ketidakpuasan, Mara berkata, ‘Tujuh hari dari sekarang engkau akan menjadi Bangsawan Penguasa Dunia.’ Tetapi Sang Bodhisatta malahan merasa seolah-olah sepotong besi panas masuk ke telinganya, dan beliau dipenuhi kekhawatiran dan ketakutan. Lebih jauh lagi, O baginda, Sang Bodhisatta berpikir, ‘Jangan sampai aku dicela oleh para dewa dan manusia karena tidak memiliki pekerjaan atau sarana. Biarlah aku menjadi orang yang mau bertindak dan tetap tulus.’ Jadi Sang Bodhisatta menggunakan latihan keras tersebut untuk mematangkan pengetahuannya.”

“Yang Mulia Nagasena, ketika Sang Bodhisatta sedang menjalani latihan keras, hal ini muncul di dalam benaknya, ‘Tidakkah mungkin ada jalan lain menuju pengetahuan yang lebih tinggi yang dapat dicapai orang mulia?’ Apakah kemudian beliau bingung mengenai jalan yang benar itu?”

“Ada dua puluh lima kondisi, O baginda, yang menyebabkan lemahnya pikiran: 1. kemarahan; 2. permusuhan; 3. kemunafikan; 4. kecongkakan; 5. keirihatian; 6. ketamakan; 7. kebohongan; 8. pengkhianatan; 9. kekeraskepalaan;10. suka melawan; 11. kesombongan; 12. suka pujian; 13. pandangan yang berlebihan mengenai kesehatan, kelahiran, kekayaan; 14. ketidakpedulian; 15. keengganan; 16. rasa mengantuk dan malas; 17. teman yang jahat; 18. objek yang terlihat; 19. suara; 20. bau; 21. cita rasa; 22. sensasi sentuhan; 23. rasa lapar; 24. rasa haus; dan 25. ketidakpuasan.

Pada saat itu rasa lapar serta rasa hauslah yang menguasai tubuhnya sehingga pikirannya menjadi tidak terarah dengan benar untuk memusnahkan banjir (asava). Sang Bodhisatta telah mencari penembusan Empat Kesunyataan Mulia selama beberapa mahakalpa, jadi bagaimana mungkin dapat muncul kebingungan di dalam pikirannya tentang Sang Jalan? Meskipun demikian, beliau berpikir, ‘Tidakkah mungkin ada jalan lain untuk mencapai kebijaksanaan?’ Sebelumnya, ketika masih berusia beberapa tahun Sang Bodhisatta telah mencapai empat pencerapan (jhana) ketika sedang bermeditasi di bawah pohon apel-mawar ketika ayahnya sedang membajak.”

“Bagus sekali, Nagasena, aku menerimanya seperti apa yang Anda katakan. Ketika sedang membawa pengetahuannya menuju kematangan itulah Sang Bodhisatta berlatih amat keras.”

Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com