PENJELASAN MENGENAI CERITA PETA SAPI JANTAN
Goṇapetavatthu (Pv 8)
[38] ‘Mengapakah kamu seperti orang gila.’ Sang Guru yang sedang berdiam di hutan Jeta menceritakan hal ini berkenaan dengan seorang laki-laki kaya yang ayahnya meninggal dunia.
Dikatakan bahwa di Savatthi ada seorang laki-laki kaya. Suatu hari ayahnya meninggal. Karena ditinggal ayahnya, hatinya amat sedih dan dia pergi ke sana kemari seperti orang gila. Dengan hati yang amat pedih dia bertanya kepada siapapun yang dijumpainya, ‘Kamu telah melihat ayahku, bukan?’ Tak seorang pun yang dapat menghilangkan kesedihannya. Namun dia sebenarnya memiliki kemampuan untuk mewujudkan buah-sotapatti, dan kemampuan ini bersinar di hatinya bagaikan lampu di dalam bejana. Sang Guru, yang meneliti dunia ini menjelang fajar, melihat kemampuannya untuk mewujudkan buah-sotapatti ini, dan Beliau berpikir, ‘Setelah saya mengingat kembali tindakan-tindakan masa lalunya dan meringankan kesedihannya, pantaslah bila dia diberi1 buah-sotapatti.’ Keesokan harinya setelah kembali dari mengumpulkan dana makanan dan setelah makan, Sang Guru mengajak pengiringnya2 dan pergi ke pintu rumah laki-laki itu. Ketika laki-laki itu mendengar bahwa Sang Guru telah datang, dia keluar untuk menyambut Beliau dan mempersilakan Beliau masuk. Setelah Sang Guru duduk di tempat yang ditunjukkan, dia sendiri memberi hormat kepada Sang Buddha. Dia lalu duduk di satu sisi dan bertanya, ‘Yang Mulia, apakah Yang Mulia tahu kemana ayahku telah pergi?’ Sang Guru kemudian menjawab ‘Apakah engkau bertanya tentang ayahmu di dalam kehidupan sekarang ini, wahai umat awam, atau (ayah-ayahmu) di masa lalu?’ Ketika mendengar kata-kata ini dia berpikir, ‘Aku telah mempunyai banyak ayah.’ Dengan pengertian ini kesedihannya pun berkurang dan dia menjadi sedikit lebih tenang. Sang Guru kemudian memberinya khotbah Dhamma untuk menghapus kesedihannya, dan setelah mengetahui bahwa kesedihan laki-laki itu telah hilang dan hatinya sudah siap, maka lewat Ajaran mengenai Dhamma yang telah ditemukan sendiri (oleh para Buddha)3 (-dukkha, kemunculan, penghentian, caranya-) Beliau memantapkan dia di dalam buah-sotapatti dan kemudian kembali ke vihara. Para bhikkhu pun lalu mulai berbicara di antara mereka sendiri di ruang Dhamma, sambil mengatakan, ‘Wahai para sahabat, lihatlah kekuatan Sang Buddha yang luar biasa. Seorang umat awam yang dikuasai kesedihan4 yang amat dalam telah dibimbing oleh Beliau menuju buah-sotapatti hanya dalam sekejap mata.’ [39] Sang Guru kemudian pergi ke ruang Dhamma dan duduk5 di tempat duduk kehormatan yang dipersiapkan bagi Sang Buddha dan bertanya, ‘Wahai para bhikkhu, untuk membahas apakah kalian semua duduk bersama di sini?’ Para bhikkhu lalu mengemukakan pokok (pembicaraan mereka) kepada Sang Buddha. Kemudian Sang Guru berkata, ‘Bukan hanya pada kesempatan ini saja, wahai para bhikkhu, aku telah melenyapkan kesedihannya; aku juga telah menghilangkan kesedihannya pada waktu dahulu.’ Maka mereka memohon Sang Buddha untuk menceritakan kembali {kejadian) yang telah lama tersebut.
Dahulu kala di Benares tinggal seorang perumah tangga, dan suatu hari ayahnya meninggal. Dia dikuasai kesedihan dan ratapan pada saat kematian ayahnya. Dengan air mata bercucuran dia meratap meraung-raung6 dan memukuli dadanya ketika dia mengelilingi tumbukan kayu pembakarannya7 ke arah kanan. Putranya, yang bernama Sujata, adalah seorang pemuda yang cerdas, pandai dan amat bijaksana. Ketika sedang memikirkan beberapa cara untuk menghapus kesedihan ayahnya, suatu hari dia melihat bangkai sapi jantan di pinggir kota. Dia mencari rumput dan air, lalu menaruhnya di depan bangkai itu. Sambil menyuapinya, dia berdiri di sana memerintahkan sapi itu seolah-olah masih hidup, dengan kata-kata, ‘Makan, makan; minum, minum!’ Orang-orang yang lewat melihatnya, dan berkata, ‘Sujata, sayang, apakah engkau sudah gila sehingga menawarkan rumput dan air kepada sapi yang sudah mati?’ Tetapi Sujata tidak mengucapkan sepatah kata pun. Orang-orang itu lalu pergi mencari ayahnya dan berkata, ‘Putramu sudah gila. Dia sedang memberi makan rumput dan air kepada sapi yang sudah mati.’ Ketika si ayah mendengar hal ini, kesedihan untuk ayahnya sendiri pun lenyap. Karena berpikir, ‘Kata orang anakku telah menjadi gila,’ maka dia berlari ke sana dan memarahi Sujata sambil mengatakan, ‘Sujata, bukankah engkau orang yang bijaksana dan pandai dan amat cerdas? Mengapa engkau memberi makan rumput dan air kepada sapi yang sudah mati?’ Kemudian dia mengucapkan dua syair ini:
1. ‘Mengapa kamu, seperti orang gila, memotong rumput hijau dan bergumam, “Makan, makan!’ kepada sapi jantan tua yang kehidupannya telah berlalu?
2. Bukan lewat makanan maupun minuman sapi yang mati ini akan bangkit; kamu adalah orang tolol, orang bodoh, dan idiot sama seperti orang-orang lain.’
1 Di sini mengapa (kin nu) adalah kata tanya. Seperti orang gila (ummattarupo va): bagaikan orang yang gila secara alami, bagaikan orang yang kacau secara mental. [40] Memotong : layitva=lavitva (bentuk tata bahasa alternatif). Rumput hijau (haritam tinam): rumput segar. Bergumam (lapasi) : berbicara tanpa tujuan. Yang kehidupannya telah berlalu (gatasattam): kosong dari kehidupan. Sapi jantan tua (jaraggavam): sapi jantan yang lemah, sapi yang telah digunakan untuk membajak.
2 Lewat makanan atau minuman (annena panena): dengan rumput hijau ini atau dengan air yang telah kamu berikan. Sapi yang mati ini akan bangkit (mato gono samutthahe): bahkan jika ternak yang telah mati ini dapat memperoleh kehidupannya lagi, dia tidak akan bangkit. Kamu adalah orang tolol, orang bodoh (tvam ‘si balo ca dummedho): kamu orang tolol karena kamu melekat pada pada ketololan, orang bodoh karena kamu tidak memiliki pandangan terang yang dikenal sebagai kebijaksanaan. Dan idiot sama seperti orang-orang lain (yatha t’ aññ eva dummati): engkau meratap tanpa tujuan, sama seperti orang-orang lain yang tidak memiliki pandangan terang. Yatha tam (tidak diterjemahkan) hanyalah sebuah partikel. Sama seperti orang-orang lain (aññ’ eva): artinya, walaupun kamu memiliki kebijaksanaan, kamu sudah menjadi idiot seperti idiot-idiot lainnya dan berbicara dengan bingung.8
Mendengar ini, Sujata mengucapkan dua syair berikut untuk membuat agar ayahnya memahami maksudnya :
3. ‘Kaki-kaki ini, kepala ini, tubuh dengan ekornya dan matanya masih tetap seperti dulu: ternak ini mungkin bangkit,
4. Tetapi tangan, kaki, tubuh dan kepala kakek tidak lagi dapat terlihat – apakah bukan engkau yang idiot, menangisi gundukan tanahnya?’9
3 Inilah artinya : keempat kaki ini, kepala seperti tambur bersama dengan ekor ternak ini masih ada, tubuh dengan ekornya serta matanya masih tetap seperti sebelum mati dan tidak ada tanda sudah lenyap.10 Sapi ini mungkin bangkit (ayam gono samutthahe): karena alasan inilah muncul di pikiranku buah-pikir bahwa sapi ini mungkin bangkit, mungkin berdiri. Beberapa mencantumkan saya pikir sapi ini mungkin bangkit (maññe gono samutthahe): untuk alasan inilah saya bisa berpikir bahwa sapi ini mungkin tiba-tiba menegakkan tubuhnya; pandangan seperti mungkin menampakkan diri di hadapanku – demikianlah artinya.
4 [41] Kemudian dia mengajarkan Dhamma kepada ayahnya dengan berkata, ‘Tetapi yang dimiliki kakek, tetapi tangan, kaki, tubuh dan kepala kakekku tidak lagi dapat dilihat. Apakah bukan engkau sendiri, ayah, yang justru merupakan idiot, orang yang kekurangan kebijaksanaan, seratus, seribu kali lebih daripada itu, ketika engkau menangis di gundukan yang terbuat dari tanah setelah menguburkan tulang-tulangnya di dalamnya? Secara alami, hal-hal yang terkondisi akan hancur dan lenyap; engkau mengetahui hal ini11, jadi mengapa meratap?’ Ketika mendengar ini, ayah Bodhisatta itu berpikir, ‘Putraku bijaksana – dia melakukan tindakan ini untuk mengajarku’ (dan mengatakan), ‘Sujata sayang, memang sudah diketahui bahwa semua makhluk hidup pasti akan mati. Maka sejak saat ini saya tidak akan meratap lagi: memang demikianlah seharusnya bagi mereka yang dapat melenyapkan kesedihannya’, dan kemudian dia mengucapkan empat syair untuk memuji putranya:
5. ‘Aku benar-benar terbakar, bagaikan api yang dituangi ghee; tetapi sekarang semua kesedihanku telah padam seolah-olah aku disiram air.
6. Sesungguhnyalah anak panah, kesedihan, yang tadinya menusuk hatiku, telah tercabut keluar. Engkau telah menghilangkan kesedihan itu, kesedihan untuk ayahku, yang telah menguasai diriku.
7. Karena anak panah telah dicabut, aku menjadi tenang dan sejuk; sejak mendengarmu, wahai anak muda, aku tidak lagi bersedih hati atau menangis.’12
8. Sebagaimana Sujata mengalihkan13 ayahnya dari kesedihan -demikian pula tindakan para bijaksana, mereka memiliki14 belas kasihan.
5 Di sini aku terbakar (adittam): aku telah dibuat menyala dan terbakar oleh api kesedihan. Seperti: santam=samanam (bentuk tata bahasa alternatif). Api (pavakam): api. Seolah-olah aku disiram air (varina viya osiñcam): seolah-olah aku disiram15 dengan air. Tetapi sekarang semua kesedihanku telah padam (sabbam nibbapaye daram): tetapi sekarang semua kekacauan di hatiku telah padam.
6 Sesungguhnya telah tercabut keluar (abulha vata) : benar-benar telah terdorong keluar. Anak panah (sallam): anak panah kesedihan. Yang telah menusuk hatiku (hadayanissitam): anak panah yang telah bersemayam di hatiku. Kesedihan yang telah menguasai itu (sokaparetassa) : kesedihan yang telah menguasai. Kesedihan untuk ayahku (pitusokam): kesedihan yang muncul sehubungan dengan ayahku. Engkau telah menghilangkan (apanudi): engkau telah melenyapkan.
7 Sejak mendengarmu, wahai anak muda (tava sutvana manava): tetapi sejak mendengar kata-katamu, anakku, aku tidak lagi bersedih hati atau menangis.
8 Sebagaimana Sujata (mengalihkan) ayahnya (Sujato pitaram yatha) : sebagaimana Sujata mengalihkan ayahnya dari kesedihannya, demikian juga orang-orang bijaksana yang memiliki belas kasihan, [42] mereka yang secara alami senang membantu, bertindak dengan cara yang sama, artinya mereka bertindak demi manfaat ayah mereka dan demi yang lain.
Ketika mendengar kata-kata pemuda ini, ayah tersebut kehilangan kesedihannya. Dia mencuci kepala, makan (lagi) dan menjalankan usahanya, dan ketika meninggal dunia dia masuk ke surga.
Ketika Sang Guru menceritakan kembali ajaran mengenai Dhamma ini, Beliau menjelaskan (Empat) Kebenaran (Mulia) kepada para bhikkhu itu. Di akhir ajaran itu, banyak yang mantap untuk memperoleh buah-Sotapatti.
Sujatalah yang pada saat itu menjadi Penyelamat dunia kita16.
Catatan
datum; artinya di sini maupun di tempat lain dalam karya ini adalah bahwa potensi untuk mewujudkan buah-Sotapatti seperti itu tetap tidak akan terwujud seandainya tidak ada campur tangan dari Sang Buddha yang agung.
pacchasamanam, bhikkhu junior yang berjalan di belakang seorang Thera pada saat mengumpulkan dana makan. Sang Buddha selalu ditemani oleh Ananda; lihat Vin i 46, iii 10; PvA 93. Be terbaca anadaya, tidak mengambil, pelayan ini.
Ini harus dipahami sebagai versi yang luar biasa dipadatkan, yang menjelaskan bagaimana individu-individu tertentu diubah oleh Sang Buddha; secara utuh hal ini dapat ditemukan misalnya di M i 379 dst. Bandingkan dengan PvA 195 dst. Menurut Gehman ‘mencetuskan salam yang pendek’ tetapi ini sepenuhnya tidak mengena.
Terbaca sokapareto paramasako dengan Se untuk sokam paramosoko pada teks; Be terbaca sokaparidevasamapanno.
Terbaca nissino dengan Se Be untuk nisimo pada teks.
Terbaca kandanto dengan Se Be untuk karonto pada teks; tetapi Be mempunyai rattakkho, dengan mata merah, menggantikan ‘memukuli dadanya.’
Terbaca tassa dengan Se untuk tato pada teks; Be menghilangkan semuanya.
Be menghilangkan semua kalimat
mattikathupasmim; thupa (Skt stupa) dalam pengertian Buddhis non-teknis.
Terbaca abhinnasanthanani dengan Se Be untuk abhinnava- pada teks.
Teks ini diberi tanda baca salah di sini- koma yang mengikuti tattha seharusnya justru berada di depannya.
syair 5-7 diulang lagi di Syair 838-10.
Terbaca vinivattayi seperti di II 619 di bawah untuk vinivattanti pada teks; bandingkan PED sv vinivatteti.
Terbaca honti dengan Se Be untuk konti pada teks.
Terbaca avasiñcanto dengan Be untuk Se asiñcanto pada teks.
Lokanatho, sebutan bagi Sang Buddha. Gehman salah mengidentifikasikan Sujata dalam cerita ini dengan Buddha Sujata yang terdahulu. Sebenarnya ini lebih merupakan kasus Buddha (Gotama) kita sendiri yang menceritakan kejadian di mana Beliau, dalam kehidupan yang lalu sebagai Sujata dan masih sebagai Bodhisatta, membantu menghilangkan kesedihan pria yang sama, yang telah Beliau beri buah-sotapatti; memang kitab komentar untuk v4 menyebut Sujata seorang Bodhisatta. Cerita ini muncul dalam bentuk yang mirip sebagai Sujata Jataka (No.352). Beberapa detilnya diambil oleh Dhammapala di sini, seperti kenyataan bahwa ayahnya telah berhenti makan.
Dikatakan bahwa di Savatthi ada seorang laki-laki kaya. Suatu hari ayahnya meninggal. Karena ditinggal ayahnya, hatinya amat sedih dan dia pergi ke sana kemari seperti orang gila. Dengan hati yang amat pedih dia bertanya kepada siapapun yang dijumpainya, ‘Kamu telah melihat ayahku, bukan?’ Tak seorang pun yang dapat menghilangkan kesedihannya. Namun dia sebenarnya memiliki kemampuan untuk mewujudkan buah-sotapatti, dan kemampuan ini bersinar di hatinya bagaikan lampu di dalam bejana. Sang Guru, yang meneliti dunia ini menjelang fajar, melihat kemampuannya untuk mewujudkan buah-sotapatti ini, dan Beliau berpikir, ‘Setelah saya mengingat kembali tindakan-tindakan masa lalunya dan meringankan kesedihannya, pantaslah bila dia diberi1 buah-sotapatti.’ Keesokan harinya setelah kembali dari mengumpulkan dana makanan dan setelah makan, Sang Guru mengajak pengiringnya2 dan pergi ke pintu rumah laki-laki itu. Ketika laki-laki itu mendengar bahwa Sang Guru telah datang, dia keluar untuk menyambut Beliau dan mempersilakan Beliau masuk. Setelah Sang Guru duduk di tempat yang ditunjukkan, dia sendiri memberi hormat kepada Sang Buddha. Dia lalu duduk di satu sisi dan bertanya, ‘Yang Mulia, apakah Yang Mulia tahu kemana ayahku telah pergi?’ Sang Guru kemudian menjawab ‘Apakah engkau bertanya tentang ayahmu di dalam kehidupan sekarang ini, wahai umat awam, atau (ayah-ayahmu) di masa lalu?’ Ketika mendengar kata-kata ini dia berpikir, ‘Aku telah mempunyai banyak ayah.’ Dengan pengertian ini kesedihannya pun berkurang dan dia menjadi sedikit lebih tenang. Sang Guru kemudian memberinya khotbah Dhamma untuk menghapus kesedihannya, dan setelah mengetahui bahwa kesedihan laki-laki itu telah hilang dan hatinya sudah siap, maka lewat Ajaran mengenai Dhamma yang telah ditemukan sendiri (oleh para Buddha)3 (-dukkha, kemunculan, penghentian, caranya-) Beliau memantapkan dia di dalam buah-sotapatti dan kemudian kembali ke vihara. Para bhikkhu pun lalu mulai berbicara di antara mereka sendiri di ruang Dhamma, sambil mengatakan, ‘Wahai para sahabat, lihatlah kekuatan Sang Buddha yang luar biasa. Seorang umat awam yang dikuasai kesedihan4 yang amat dalam telah dibimbing oleh Beliau menuju buah-sotapatti hanya dalam sekejap mata.’ [39] Sang Guru kemudian pergi ke ruang Dhamma dan duduk5 di tempat duduk kehormatan yang dipersiapkan bagi Sang Buddha dan bertanya, ‘Wahai para bhikkhu, untuk membahas apakah kalian semua duduk bersama di sini?’ Para bhikkhu lalu mengemukakan pokok (pembicaraan mereka) kepada Sang Buddha. Kemudian Sang Guru berkata, ‘Bukan hanya pada kesempatan ini saja, wahai para bhikkhu, aku telah melenyapkan kesedihannya; aku juga telah menghilangkan kesedihannya pada waktu dahulu.’ Maka mereka memohon Sang Buddha untuk menceritakan kembali {kejadian) yang telah lama tersebut.
Dahulu kala di Benares tinggal seorang perumah tangga, dan suatu hari ayahnya meninggal. Dia dikuasai kesedihan dan ratapan pada saat kematian ayahnya. Dengan air mata bercucuran dia meratap meraung-raung6 dan memukuli dadanya ketika dia mengelilingi tumbukan kayu pembakarannya7 ke arah kanan. Putranya, yang bernama Sujata, adalah seorang pemuda yang cerdas, pandai dan amat bijaksana. Ketika sedang memikirkan beberapa cara untuk menghapus kesedihan ayahnya, suatu hari dia melihat bangkai sapi jantan di pinggir kota. Dia mencari rumput dan air, lalu menaruhnya di depan bangkai itu. Sambil menyuapinya, dia berdiri di sana memerintahkan sapi itu seolah-olah masih hidup, dengan kata-kata, ‘Makan, makan; minum, minum!’ Orang-orang yang lewat melihatnya, dan berkata, ‘Sujata, sayang, apakah engkau sudah gila sehingga menawarkan rumput dan air kepada sapi yang sudah mati?’ Tetapi Sujata tidak mengucapkan sepatah kata pun. Orang-orang itu lalu pergi mencari ayahnya dan berkata, ‘Putramu sudah gila. Dia sedang memberi makan rumput dan air kepada sapi yang sudah mati.’ Ketika si ayah mendengar hal ini, kesedihan untuk ayahnya sendiri pun lenyap. Karena berpikir, ‘Kata orang anakku telah menjadi gila,’ maka dia berlari ke sana dan memarahi Sujata sambil mengatakan, ‘Sujata, bukankah engkau orang yang bijaksana dan pandai dan amat cerdas? Mengapa engkau memberi makan rumput dan air kepada sapi yang sudah mati?’ Kemudian dia mengucapkan dua syair ini:
1. ‘Mengapa kamu, seperti orang gila, memotong rumput hijau dan bergumam, “Makan, makan!’ kepada sapi jantan tua yang kehidupannya telah berlalu?
2. Bukan lewat makanan maupun minuman sapi yang mati ini akan bangkit; kamu adalah orang tolol, orang bodoh, dan idiot sama seperti orang-orang lain.’
1 Di sini mengapa (kin nu) adalah kata tanya. Seperti orang gila (ummattarupo va): bagaikan orang yang gila secara alami, bagaikan orang yang kacau secara mental. [40] Memotong : layitva=lavitva (bentuk tata bahasa alternatif). Rumput hijau (haritam tinam): rumput segar. Bergumam (lapasi) : berbicara tanpa tujuan. Yang kehidupannya telah berlalu (gatasattam): kosong dari kehidupan. Sapi jantan tua (jaraggavam): sapi jantan yang lemah, sapi yang telah digunakan untuk membajak.
2 Lewat makanan atau minuman (annena panena): dengan rumput hijau ini atau dengan air yang telah kamu berikan. Sapi yang mati ini akan bangkit (mato gono samutthahe): bahkan jika ternak yang telah mati ini dapat memperoleh kehidupannya lagi, dia tidak akan bangkit. Kamu adalah orang tolol, orang bodoh (tvam ‘si balo ca dummedho): kamu orang tolol karena kamu melekat pada pada ketololan, orang bodoh karena kamu tidak memiliki pandangan terang yang dikenal sebagai kebijaksanaan. Dan idiot sama seperti orang-orang lain (yatha t’ aññ eva dummati): engkau meratap tanpa tujuan, sama seperti orang-orang lain yang tidak memiliki pandangan terang. Yatha tam (tidak diterjemahkan) hanyalah sebuah partikel. Sama seperti orang-orang lain (aññ’ eva): artinya, walaupun kamu memiliki kebijaksanaan, kamu sudah menjadi idiot seperti idiot-idiot lainnya dan berbicara dengan bingung.8
Mendengar ini, Sujata mengucapkan dua syair berikut untuk membuat agar ayahnya memahami maksudnya :
3. ‘Kaki-kaki ini, kepala ini, tubuh dengan ekornya dan matanya masih tetap seperti dulu: ternak ini mungkin bangkit,
4. Tetapi tangan, kaki, tubuh dan kepala kakek tidak lagi dapat terlihat – apakah bukan engkau yang idiot, menangisi gundukan tanahnya?’9
3 Inilah artinya : keempat kaki ini, kepala seperti tambur bersama dengan ekor ternak ini masih ada, tubuh dengan ekornya serta matanya masih tetap seperti sebelum mati dan tidak ada tanda sudah lenyap.10 Sapi ini mungkin bangkit (ayam gono samutthahe): karena alasan inilah muncul di pikiranku buah-pikir bahwa sapi ini mungkin bangkit, mungkin berdiri. Beberapa mencantumkan saya pikir sapi ini mungkin bangkit (maññe gono samutthahe): untuk alasan inilah saya bisa berpikir bahwa sapi ini mungkin tiba-tiba menegakkan tubuhnya; pandangan seperti mungkin menampakkan diri di hadapanku – demikianlah artinya.
4 [41] Kemudian dia mengajarkan Dhamma kepada ayahnya dengan berkata, ‘Tetapi yang dimiliki kakek, tetapi tangan, kaki, tubuh dan kepala kakekku tidak lagi dapat dilihat. Apakah bukan engkau sendiri, ayah, yang justru merupakan idiot, orang yang kekurangan kebijaksanaan, seratus, seribu kali lebih daripada itu, ketika engkau menangis di gundukan yang terbuat dari tanah setelah menguburkan tulang-tulangnya di dalamnya? Secara alami, hal-hal yang terkondisi akan hancur dan lenyap; engkau mengetahui hal ini11, jadi mengapa meratap?’ Ketika mendengar ini, ayah Bodhisatta itu berpikir, ‘Putraku bijaksana – dia melakukan tindakan ini untuk mengajarku’ (dan mengatakan), ‘Sujata sayang, memang sudah diketahui bahwa semua makhluk hidup pasti akan mati. Maka sejak saat ini saya tidak akan meratap lagi: memang demikianlah seharusnya bagi mereka yang dapat melenyapkan kesedihannya’, dan kemudian dia mengucapkan empat syair untuk memuji putranya:
5. ‘Aku benar-benar terbakar, bagaikan api yang dituangi ghee; tetapi sekarang semua kesedihanku telah padam seolah-olah aku disiram air.
6. Sesungguhnyalah anak panah, kesedihan, yang tadinya menusuk hatiku, telah tercabut keluar. Engkau telah menghilangkan kesedihan itu, kesedihan untuk ayahku, yang telah menguasai diriku.
7. Karena anak panah telah dicabut, aku menjadi tenang dan sejuk; sejak mendengarmu, wahai anak muda, aku tidak lagi bersedih hati atau menangis.’12
8. Sebagaimana Sujata mengalihkan13 ayahnya dari kesedihan -demikian pula tindakan para bijaksana, mereka memiliki14 belas kasihan.
5 Di sini aku terbakar (adittam): aku telah dibuat menyala dan terbakar oleh api kesedihan. Seperti: santam=samanam (bentuk tata bahasa alternatif). Api (pavakam): api. Seolah-olah aku disiram air (varina viya osiñcam): seolah-olah aku disiram15 dengan air. Tetapi sekarang semua kesedihanku telah padam (sabbam nibbapaye daram): tetapi sekarang semua kekacauan di hatiku telah padam.
6 Sesungguhnya telah tercabut keluar (abulha vata) : benar-benar telah terdorong keluar. Anak panah (sallam): anak panah kesedihan. Yang telah menusuk hatiku (hadayanissitam): anak panah yang telah bersemayam di hatiku. Kesedihan yang telah menguasai itu (sokaparetassa) : kesedihan yang telah menguasai. Kesedihan untuk ayahku (pitusokam): kesedihan yang muncul sehubungan dengan ayahku. Engkau telah menghilangkan (apanudi): engkau telah melenyapkan.
7 Sejak mendengarmu, wahai anak muda (tava sutvana manava): tetapi sejak mendengar kata-katamu, anakku, aku tidak lagi bersedih hati atau menangis.
8 Sebagaimana Sujata (mengalihkan) ayahnya (Sujato pitaram yatha) : sebagaimana Sujata mengalihkan ayahnya dari kesedihannya, demikian juga orang-orang bijaksana yang memiliki belas kasihan, [42] mereka yang secara alami senang membantu, bertindak dengan cara yang sama, artinya mereka bertindak demi manfaat ayah mereka dan demi yang lain.
Ketika mendengar kata-kata pemuda ini, ayah tersebut kehilangan kesedihannya. Dia mencuci kepala, makan (lagi) dan menjalankan usahanya, dan ketika meninggal dunia dia masuk ke surga.
Ketika Sang Guru menceritakan kembali ajaran mengenai Dhamma ini, Beliau menjelaskan (Empat) Kebenaran (Mulia) kepada para bhikkhu itu. Di akhir ajaran itu, banyak yang mantap untuk memperoleh buah-Sotapatti.
Sujatalah yang pada saat itu menjadi Penyelamat dunia kita16.
Catatan
datum; artinya di sini maupun di tempat lain dalam karya ini adalah bahwa potensi untuk mewujudkan buah-Sotapatti seperti itu tetap tidak akan terwujud seandainya tidak ada campur tangan dari Sang Buddha yang agung.
pacchasamanam, bhikkhu junior yang berjalan di belakang seorang Thera pada saat mengumpulkan dana makan. Sang Buddha selalu ditemani oleh Ananda; lihat Vin i 46, iii 10; PvA 93. Be terbaca anadaya, tidak mengambil, pelayan ini.
Ini harus dipahami sebagai versi yang luar biasa dipadatkan, yang menjelaskan bagaimana individu-individu tertentu diubah oleh Sang Buddha; secara utuh hal ini dapat ditemukan misalnya di M i 379 dst. Bandingkan dengan PvA 195 dst. Menurut Gehman ‘mencetuskan salam yang pendek’ tetapi ini sepenuhnya tidak mengena.
Terbaca sokapareto paramasako dengan Se untuk sokam paramosoko pada teks; Be terbaca sokaparidevasamapanno.
Terbaca nissino dengan Se Be untuk nisimo pada teks.
Terbaca kandanto dengan Se Be untuk karonto pada teks; tetapi Be mempunyai rattakkho, dengan mata merah, menggantikan ‘memukuli dadanya.’
Terbaca tassa dengan Se untuk tato pada teks; Be menghilangkan semuanya.
Be menghilangkan semua kalimat
mattikathupasmim; thupa (Skt stupa) dalam pengertian Buddhis non-teknis.
Terbaca abhinnasanthanani dengan Se Be untuk abhinnava- pada teks.
Teks ini diberi tanda baca salah di sini- koma yang mengikuti tattha seharusnya justru berada di depannya.
syair 5-7 diulang lagi di Syair 838-10.
Terbaca vinivattayi seperti di II 619 di bawah untuk vinivattanti pada teks; bandingkan PED sv vinivatteti.
Terbaca honti dengan Se Be untuk konti pada teks.
Terbaca avasiñcanto dengan Be untuk Se asiñcanto pada teks.
Lokanatho, sebutan bagi Sang Buddha. Gehman salah mengidentifikasikan Sujata dalam cerita ini dengan Buddha Sujata yang terdahulu. Sebenarnya ini lebih merupakan kasus Buddha (Gotama) kita sendiri yang menceritakan kejadian di mana Beliau, dalam kehidupan yang lalu sebagai Sujata dan masih sebagai Bodhisatta, membantu menghilangkan kesedihan pria yang sama, yang telah Beliau beri buah-sotapatti; memang kitab komentar untuk v4 menyebut Sujata seorang Bodhisatta. Cerita ini muncul dalam bentuk yang mirip sebagai Sujata Jataka (No.352). Beberapa detilnya diambil oleh Dhammapala di sini, seperti kenyataan bahwa ayahnya telah berhenti makan.
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com