Sariputta | Suttapitaka | PENJELASAN MENGENAI CERITA PETA KETUA PENENUN Sariputta

PENJELASAN MENGENAI CERITA PETA KETUA PENENUN

Mahā­pesa­kāra­peti­vatthu (Pv 9)

‘Kotoran dan air kencing, darah dan nanah.’ Demikian dikatakan ketika Sang Guru sedang berdiam di Savatthi berkenaan dengan peti yang dahulunya adalah seorang penenun.

Dikatakan bahwa sebanyak dua belas bhikkhu telah diberi subjek1 meditasi di hadapan Sang Guru. Ketika mencari tempat tinggal menjelang musim hujan, mereka melihat tempat yang menyenangkan, teduh dan banyak air di hutan, dengan desa yang dapat menyediakan dana makan yang letaknya tidak terlalu jauh maupun terlalu dekat. Setelah melewatkan malam itu di sana, keesokan harinya mereka memasuki desa untuk mengumpulkan dana makanan. Ada sebelas penenun yang tinggal di sana. Ketika melihat para bhikkhu itu, para penenun merasa amat gembira. Mereka kemudian menunjukkan kepada para bhikkhu rumah-rumah mereka. Setelah melayani para bhikkhu itu dengan makanan dan minuman, mereka bertanya, ‘Kemana Yang Mulia akan pergi?’ ‘Kami akan pergi ke manapun yang nyaman bagi kami,’ jawab para bhikkhu. ‘Jika demikian halnya, Yang Mulia seharusnya tinggal di sini,’ kata para penenun itu. Mereka pun memohon agar para bhikkhu melewatkan masa vassa (bersama mereka), dan para bhikkhu menerima permohonan itu. Kemudian para umat awam mendirikan gubuk bagi para bhikkhu pada tempat itu di hutan, dan mempersembahkannya kepada para bhikkhu yang memasuki masa vassa di sana. Ketua penenun di sana dengan amat cermat melayani dua bhikkhu dalam hal empat kebutuhan pokok, sedangkan setiap penenun lain masing-masing melayani satu bhikkhu. Namun istri ketua itu tidak memiliki keyakinan maupun bakti. Dia jahat serta berpandangan salah, dan tidak melayani para bhikkhu dengan baik. Ketika si ketua mengetahui hal ini, (penenun itu) menjemput adik perempuannya dan menyuruhnya agar bertanggung jawab sebagai nyonya rumah. Si adik ini [43] memiliki keyakinan dan bakti, dan melayani para bhikkhu dengan amat baik. Semua penenun masing-masing memberikan satu jubah kepada para bhikkhu yang telah melewatkan masa vassa, namun istri ketua penenun itu – karena pikirannya jahat- mengutuk suaminya (sambil mengatakan), ‘Makanan dan minuman apapun yang kamu berikan sebagai dana kepada para petapa yang merupakan putra-putra Sakya,3 semoga makanan itu di alam lain berubah menjadi kotoran dan air kencing, darah dan nanah bagimu; dan semoga jubah-jubah itu menjadi lempengan-lempengan besi yang panas menganga!’ Ketika tiba saatnya, ketua penenun tersebut meninggal dunia dan terlahir sebagai devata pohon. Dia tinggal4 di hutan Viñjha5 dan memiliki keagungan yang besar. Sedangkan ketika si istri yang kikir itu meninggal dunia, dia lahir kembali sebagai peti tidak jauh dari tempat tinggalnya dahulu. Peti ini telanjang dan penampilannya mengerikan. Karena dikuasai rasa lapar dan haus, dia mendekati tempat tinggal dewa tersebut dan berkata, ‘Tuanku, saya tidak berpakaian dan berkelana kian kemari dikuasai rasa lapar dan haus yang luar biasa. Tolong beri saya pakaian dan makanan serta minuman.’ Dewa itu memberinya makanan serta minuman surgawi pilihan, tetapi begitu dia menyentuh benda-benda tersebut, semuanya berubah menjadi kotoran dan air kencing, darah dan nanah. Ketika dia mengenakan jubah, jubah itu menjadi lempengan besi yang panas menganga. Karena menderita kesengsaraan yang luar biasa, dia membuang benda-benda itu dan pergi (menjauh) sambil meratap.

Pada saat itu, seorang bhikkhu yang telah melewatkan masa vassa sedang dalam perjalanan untuk memberikan hormat kepada Sang Guru. Ia memasuki hutan Viñjha dengan disertai banyak orang. Mereka terus berjalan pada malam hari dan di pagi hari mereka melihat suatu tempat yang teduh dan banyak airnya. Maka mereka pun melepaskan kekang ternaknya untuk beristirahat beberapa saat. Tetapi bhikkhu itu ingin sendirian, jadi ia berjalan terus sebentar. Kemudian ia menaruh jubah luarnya di kaki sebuah pohon, tempat yang memberikan keteduhan yang nyaman. Karena kelelahan setelah perjalanan semalam, ia membaringkan tubuhnya dan jatuh tertidur. Orang-orang lain, setelah beristirahat, kemudian melanjutkan perjalanan, tetapi bhikkhu itu tetap tidak terbangun. Ia baru terbangun di petang hari dan karena tidak bisa melihat kelompoknya. [44] ia mulai berjalan ke arah yang salah. Akhirnya sampailah ia ke tempat tinggal devata itu. Ketika devaputta itu melihat bhikkhu ini, dia mendekat dalam bentuk manusia dan menyapa dengan ramah, mengundangnya ke dalam rumahnya yang besar,6 dan memberikan minyak untuk kaki bhikkhu itu dll., lalu duduk untuk melayani. Pada saat ini peti itu datang sambil mengatakan, ‘Yang Mulia, tolong beri saya makanan dan minuman serta jubah.’ Bhikkhu itu memberikan kepada peti tersebut apa yang diminta, tetapi begitu dia menyentuhnya, benda-benda tersebut berubah menjadi kotoran dan air kencing, darah dan nanah serta lempengan-lempengan besi yang panas menganga.7 Ketika melihat hal ini, bhikkhu itu merasa amat ngeri, dan bertanya kepada devaputta tersebut dengan dua syair ini :

1. ‘Dia makan kotoran dan air kencing, darah dan nanah – sebagai akibat dari apakah ini? Perbuatan apakah yang telah dilakukan wanita ini sehingga dia selalu makan darah dan nanah?
2. Pakaian-pakaian baru, yang indah dan lembut, bersih dan bagaikan bulu, ketika diberikan kepadanya8 berubah menjadi bagaikan lembaran-lembaran9 (logam); perbuatan apakah yang telah dilakukan wanita ini?’
1 Di sini sebagai akibat dari apakah ini ? (kissa ayam vipako) : sebagai akibat dari perbuatan apakah maka dia sekarang menjalani semua ini? Perbuatan apakah yang telah dilakukan wanita ini? (ayam nu kim kammam akasi nari): perbuatan apakah yang telah dilakukan wanita ini di masa lalu? Sehingga dia selalu makan darah dan nanah ? (ya ca sabbada lohitapubbabhakkha): sehingga senantiasa dia mendapat makanan, makan,10 darah dan nanah saja.

2 Baru (navani) : akhir-akhir ini , setelah muncul saat itu juga.11 Indah (subhani): bagus dan elok untuk dipandang. Lembut (muduni) : menyenangkan untuk disentuh. Bersih (suddhani): memiliki penampilan yang sangat murni. Bagaikan bulu (lomasani): dengan tumpukan yang menyenangkan untuk disentuh, artinya, elok. Ketika diberikan kepadanya berubah menjadi bagaikan lembaran-lembaran (logam) (dinnan’ imissa kitaka va bhavanti): menjadi mirip lembaran-lembaran (logam) dengan duri,12 mirip dengan lembaran-lembaran tembaga. Bacaan alternatif adalah ‘menjadi cacing-cacing (kitaka13 bhavanti), yang artinya, menjadi mirip serangga14 yang menggigit.

[45] Ketika ditanya demikian oleh bhikkhu itu, devaputta pun menyampaikan dua syair yang menjelaskan perbuatan yang telah dilakukan peti itu di dalam kehidupan sebelumnya :
3. ‘Dahulu dia adalah istriku, Yang Mulia, yang tidak dermawan, jahat dan kikir; ketika saya memberi kepada para petapa dan brahmana, dia menghina dan mencaci maki saya, dengan mengatakan,
4. “Kotoran dan air kencing, darah dan nanah – semoga kamu makan apa yang tidak bersih sepanjang waktu! Biarlah ini menjadi (makanan)-mu di alam berikutnya dan semoga pakaianmu seperti lembaran-lembaran (logam)!” Karena telah memiliki perilaku buruk seperti itu, dia datang ke sini karena harus makan (kotoran) untuk waktu yang lama.’
3 Di sini tidak dermawan (adayika) : dia tidak memberikan apapun kepada siapapun, dia tidak memiliki keluhuran dalam bentuk kedermawanan. Jahat dan kikir (maccharini kadariya) : pertama-tama dia jahat karena wataknya (yang tercemar oleh) noda keegoisan; melalui pengejarannya15 berkali-kali (dalam perilaku semacam itu, dia menjadi luar biasa jahat;16 (dan akhirnya) dia kikir – demikianlah hal ini harus ditafsirkan. Kemudian dia mengatakan ‘Ketika saya memberi (kepada para petapa dan brahmana) dia (menghina) saya’ dan sebagainya untuk menunjukkan (seberapa jauh) kekikirannya.

4 Di sini seperti itu (etadisam): karena telah memiliki perilaku yang buruk lewat ucapan dll. sebagaimana sudah dikatakan sebelumnya. Dia datang ke sini (idhagata): dia datang ke alam peta ini, dia terlahir sebagai peti. Harus makan (kotoran) untuk waktu yang lama (cirarattaya khadati): harus makan hanya kotoran dll. saja dalam kurun waktu yang lama. Karena, apapun cara17 yang dipakainya untuk menghina18, dengan cara19 yang sama pula buahnya dihasilkan. Penghinaan20 jatuh kembali kepada diri sendiri, bukan pada orang yang dihina, seperti jatuhnya halilintar di puncak yang tinggi, yang disebut penghenti gerak di bumi.21

Sesudah menceritakan perbuatan yang telah dilakukan oleh peti itu di masa lalu, devaputta itu kemudian berbicara22 sekali lagi kepada bhikkhu tersebut (sambil mengatakan), ‘Yang Mulia, apakah ada cara yang dapat membuat peti ini terbebas dari alam peta ini?’ Ketika dijawab bahwa ada cara untuk itu, devaputta berkata, ‘Saya mohon diberitahu, Yang Mulia.’ [46] ‘Jika dana makanan diberikan kepada seorang bhikkhu atau salah satu anggota Ariyasangha Sang Buddha dan kemudian dipersembahkan bagi peti itu, dan peti itu menunjukkan penghargaannya, maka akan ada kebebasan baginya dari kesengsaraan di sini.’ Ketika devaputta mendengar hal ini, dia memberikan makanan dan minuman terbaik kepada bhikkhu itu dan mempersembahkan dana itu atas nama peti itu. Peti itu segera merasa segar dan kemampuannya pun pulih dan menjadi kenyang dengan makanan surgawi. Kemudian devaputta sekali lagi menyerahkan ke tangan bhikkhu itu sepasang jubah surgawi yang dikhususkan bagi Sang Buddha dan memberikan dana itu atas nama peti tersebut. Segera peti itu berpakaian23 surgawi, dihiasi dengan perhiasan-perhiasan surgawi. Dilengkapi secara melimpah dengan semua yang diinginkannya, dia menyerupai bidadari dewa.24 Bhikkhu itu sampai di Savatthi pada hari itu juga dengan kekuatan supranormal dari devaputta. Dia menuju hutan Jeta, menghadap pada Sang Buddha, memberi hormat dan kemudian menyerahkan sepasang jubah tersebut. Kemudian dia mengemukakan persoalan itu kepada Sang Buddha. Sang Buddha menganggap persoalan itu sebagai munculnya suatu kebutuhan dan mengajarkan Dhamma kepada orang-orang yang berkumpul di sana. Ajaran mengenai Dhamma itu bermanfaat bagi orang-orang itu.

Catatan

kammatthanam; biasanya ada empat puluh yang dikhususkan: 10 kasina, 10 objek yang menjijikkan, 10 perenungan, 4 Brahmavihara, 4 arupa-jhana, pemahaman sifat menjijikkan dari makanan, dan analisa elemen-elemen. Lihat Jalan Kesucian, Bab III-XI
Terbaca attano attano dengan Se Be untuk attano pada teks.
Sakyaputtiyanam; lihat Be dari Disc ii hal. xliv-xlvi untuk pembahasan tentang istilah ini. Di sini tampaknya hanya berfungsi untuk mengidentifikasikan sekte tanpa pengertian ras apapun.
rukkhadevata; pada Pva 5 alinea di atas, kemunculan semacam itu dianggap lebih rendah dibandingkan dengan apa yang sebenarnya dapat dicapai.
Lihat PvA 224 di bawah.
vimanam
Terbaca pajjalita- dengan Se Be dan seperti yang lebih awal untuk jalita- pada teks.
Terbaca dinnan’ imissa untuk dinnani missa pada teks.
Teks terbaca kitaka, Se Be kitaka; kata ini tidak pasti dan tampaknya tidak muncul di tempat lain.
Terbaca bhakkhati dengan Se Be untuk bhakka ti pada teks.
Terbaca tava-d-eva patubhutani dengan Se Be untuk tava devapatubhutani pada teks.
Terbaca kitakakantakasadisani dengan Se Be untuk kitakasadisani pada teks.
Demikian Se Be untuk kitaka pada teks.
panaka; pengertian ini tidak terdaftar oleh PED tetapi Childers menyarankan cacing, serangga, kutu dll.
Terbaca asevanataya dengan Se Be untuk asevanaya pada teks.
Terbaca thaddhamaccharini dengan Se Be untuk thadda- pada teks.
Terbaca yen’ akarena dengan Se Be untuk yena pi karena pada teks.
Terbaca akkuttham dengan Be untuk akattha pada teks; Se terbaca akam.
Terbaca ten’ ev’ akarena dengan Se Be untuk tena va karena pada teks.
Terbaca akkuttham dengan Be untuk akattha pada teks; Se terbaca akantam
Semua teks berbeda-beda di sini dan semua kelihatannya menyeleweng. Se Terbaca pathaviya matthakansankhate matthake asanipatam; Be terbaca pathaviyam kamantakasankhate matthake asanipato; sedangkan teks pathaviyam matakasankhate matthake asanipato tetapi juga menyebutkan dua vli matakasaghatena matake dan matakasaghatena matthake. Matthake asanipato tampaknya bagus – bandingkan asanipato matthake nipati di Ap 123 = 421 – tetapi sisanya sangat tidak jelas. Dua kata di depan matthake mungkin dimaksudkan sebagai keterangan atau permainan kata-kata mengenai matthake, tetapi tidak jelas apa yang merupakan bentuk aslinya. Juga tidak jelas apakah matthake di sini berarti di puncak gunung atau di kepala manusia. Saya cantumkan kamantakasankhate dengan Be yang saya simpulkan berasal dari krasm + antaka-. Tetapi karena tidak satupun dari bacaan- bacaan yang kita miliki sekarang ini kelihatannya sama dengan yang dimaksudkan oleh Dhammapala, interpretasi ini sangat tidak pasti.
Terbaca bhikkhum aha dengan Se Be untuk bhikkhum arabbha …aha pada teks.
Terbaca dibbavatthanivattha dengan Se Be untuk dibbavatthani vattha pada teks.
devacchara, apsara Veda

Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com