PENJELASAN MENGENAI PETA ULAR
Uragapetavatthu (Pv 12)
‘Bagaikan ular (yang telah melepaskan) kulitnya yang usang.’ Demikianlah dikatakan Sang Guru yang sedang berdiam di Hutan Jeta itu berkenaan dengan seorang umat awam.
Diceritakan bahwa di Savatthi ada seorang umat awam yang putranya meninggal. Karena amat sedih dia meratapi dan menangisi kematian putranya. Dia hanya tinggal di rumah saja, tidak keluar dan juga tidak bekerja. Menjelang fajar, Sang Guru telah keluar dari meditasi cinta kasih Beliau yang besar.1 Ketika sedang meneliti dunia dengan Mata Buddha-nya,2 Beliau melihat umat awam itu. Maka pagi itu, Sang Buddha berpakaian awal dan dengan membawa jubah serta mangkuk-Nya, Beliau pergi dan berdiri di pintu rumah umat awam itu. Mendengar kedatangan Sang Guru, umat awam itu bangkit dengan cepat dan keluar untuk menemui Sang Buddha. Dia mengambil mangkuk dari tangan Sang Buddha, mempersilahkan Beliau masuk rumah dan menawarkan tempat duduk yang dipilihnya. Sang Buddha duduk di tempat yang telah ditunjukkan. Umat itu memberikan penghormatan kepada Beliau, dan kemudian duduk di satu sisi. Sang Buddha berkata, ‘Wahai umat awam, mengapa engkau tampak seperti orang yang dikuasai kesedihan?’ ‘Ya, Bhante, anak saya tercinta telah meninggal – karena itulah saya dikuasai oleh kesedihan’ (jawabnya). Sang Buddha kemudian mengulang Jataka Ular* (dengan tujuan) menghalau kesedihannya.
* Nomor 354
Dahulu kala, di Benares di kerajaan Kasi hiduplah satu keluarga brahmana bernama Dhammapala. Semua anggota keluarga itu -brahmana dan istrinya, putra dan putrinya, menantu dan pelayan perempuannya- dibiasakan mengolah kesadaran akan kematian.3 [62] Bilamana salah seorang meninggalkan rumah, brahmana itu akan menasihati yang lain dan kemudian pergi tanpa khawatir. Suatu hari brahmana itu meninggalkan rumah dengan putranya untuk pergi ke ladang dan membajak, sementara putranya membuat api dengan rumput dan ranting kering. Pada waktu itu, seekor ular hitam (yang berbisa), karena takut terbakar, meninggalkan lubang pohon dan menggigit putra brahmana itu. Dia pingsan akibat racun ular itu, jatuh di sana dan meninggal (yang kemudian) lahir sebagai Sakka, raja para dewa. Ketika brahmana itu melihat bahwa putranya sudah meninggal, dia berkata kepada laki-laki yang lewat di tempat dia sedang bekerja, ‘Tolonglah, sahabat. Pergilah ke rumahku dan beritahulah istriku bahwa dia harus mandi dan mengenakan pakaian yang bersih dan kemudian datang kemari dengan makanan untuk satu orang, rangkaian bunga, wewangian dan sebagainya.’ Dia pergi ke sana dan memberitahu wanita itu demikian. Para anggota keluarga menjalankan apa yang dikatakan brahmana itu. Brahmana itu lalu mandi, makan, meminyaki diri dan, dikelilingi oleh pelayan-pelayannya, menaruh tubuh putranya di tumpukan kayu pembakaran dan menyalakannya. Kemudian dia berdiri di sana seolah-olah dia (hanya) membakar batang kayu, tanpa ada rasa sedih maupun tersiksa. Pikirannya terpusat pada ide ketidakkekalan.
Nah, Bodhisatta kitalah putra brahmana yang pada waktu itu telah muncul sebagai Sakka.4 ketika dia merenungkan perbuatan-perbuatan berjasa yang telah dilakukannya di dalam kehidupannya yang lalu, dia merasakan belas kasihan pada ayah dan sanak saudaranya. Maka dia pun pergi ke sana dengan menyamar sebagai brahmana. Ketika melihat bahwa sanak saudaranya tidak meratapi dia, dia berkata, ‘Wahai kalian di sana – kalian yang sedang memasak daging rusa, tolong berilah kami daging; saya lapar!’ ‘Ini bukan daging rusa, wahai brahmana. Ini adalah manusia’, jawabnya. ‘Kalau begitu, apakah dia musuhmu?’ ‘Dia bukan musuh, melainkan darah daging kami sendiri, anak saya yang masih muda, yang memiliki keluhuran tinggi.’ ‘Mengapa kalian tidak meratap bila putramu yang masih muda dengan keluhuran seperti itu meninggal?’ Mendengar hal ini, brahmana itu mengucapkan dua syair untuk menceritakan alasan mengapa dia tidak bersedih:
1. ‘Bagaikan ular yang melepaskan kulit tuanya, personnya, dan kemudian melanjutkan perjalanannya, demikian pula pada saat kematian peta itu5 melepaskan tubuhnya yang sudah tak berguna.
2. Apa yang sedang terbakar itu tidak sadar akan ratap tangis sanak saudara. Oleh karenanya saya tidak meratapi dia; dia telah pergi ke tempat yang sudah merupakan tempat baginya.’
1 [63] Di sini ular (urago): uraga adalah istilah deskriptif untuk ular: pada dadanya (urena) itulah ular bergerak ke sana kemari (gacchati). Kulit tuanya (tacam jinnam): kulitnya, selongsongnya, yang sudah tua, usang, karena keadaannya yang sudah lapuk. Melepaskan personnya dan kemudian melanjutkan perjalanannya (hitva gacchati santanum): sebagaimana ular (yang lewat) di antara pepohonan, cabang, akar atau batu, untuk melepaskan dari tubuhnya kulit tua yang menyebabkan dia menderita, seolah-olah melepaskan jaket yang ketat. Setelah melepaskan dan membuangnya, kemudian dia melanjutkan perjalanan seperti yang diinginkan. Demikian pula makhluk yang melewati6 samsara meninggalkan ‘person’nya yang sudah usang, tubuhnya yang lapuk, karena tenaga perbuatan-perbuatannya dahulu telah habis. Kemudian dia melanjutkan perjalanannya, melanjutkan perjalanan sesuai dengan perbuatan-perbuatannya. Artinya, dia muncul lewat keberadaannya yang diperbaharui. Demikian (evam): dia mengatakan hal ini sambil menunjuk ke tubuh putranya yang sedang terbakar. Tubuhnya yang sudah tak berguna (sarire nibbhoge): tubuh yang telah kehilangan kegunaannya, yaitu yang tidak bermanfaat; sebagaimana demikian baginya, demikian pula bagi yang lain. Peta (pete): ketika vitalitas, panas dan kesadaran telah lenyap, telah meninggalkan tubuh itu.7 Pada saat kematian (kalakate sati): ketika orang menemui ajal.
2 Oleh karenanya (tasma): karena, dengan perginya kesadaran, tubuh yang sedang terbakar itu tidak sadar akan rasa sakit akibat dibakar serta tidak sadar akan kesedihan dan ratap tangis sanak saudara yang tercinta, maka saya tidak menangis dengan dalih putraku ini. Dia telah pergi ke tempat yang sudah merupakan tempat baginya (gato so tassa ya gati): meskipun demikian, makhluk yang mati tidaklah lenyap; sebaliknya, begitu dia jatuh,8 begitu dia pergi menuju tempat yang dikatakan telah tersedia baginya sebagai hasil perbuatan orang yang mati itu dalam mencari kesempatannya.9 Dia tidak menunggu raungan tangis dan ratapan sanak saudara yang dahulu, dan tidak ada manfaat apa pun yang bisa dicapai lewat ratap tangis sanak keluarga yang dahulu – demikianlah artinya.
Ketika brahmana itu telah mewujudkan ketrampilannya dengan sepenuhnya memusatkan pikiran (pada ide ketidakkekalan), Sakka, yang menyamar sebagai brahmana itu, berkata kepada istri brahmana, ‘Wahai ibu yang baik, apakah hubungan almarhum dengan engkau?’ ‘Dia dulu adalah putraku yang sudah dewasa, tuan, yang telah saya bawa di dalam kandungan selama sepuluh bulan, disusui dan diajar merangkak.’10 ‘Walaupun ayahnya tidak menangis, karena memang sifat laki-laki demikian, hati seorang ibu pasti lembut – maka mengapa engkau tidak menangis?’ Mendengar hal ini, wanita itu mengucapkan dua syair yang menceritakan alasan mengapa dia tidak menangis:
3. [64] ‘Dia datang dari sana tanpa undangan11 dan pergi dari sini tanpa izin. Sebagaimana dia datang, demikian pula dia pergi. Dalam keadaan seperti ini apa gunanya ratap tangis?
4. Apa yang sedang terbakar itu tidak sadar akan ratap tangis sanak keluarga. Oleh karenanya saya tidak meratapi dia, dia telah pergi ke tempat yang sudah merupakan tempat baginya.’
3 Di sini tanpa undangan (anabbhito): tidak dipanggil; dia tidak diminta datang, kami tidak mengatakan, ‘Datanglah, jadilah putraku!’ Dari sana (tato): dari mana dia sebelumnya berada, dari alam lain.12 Dia datang: aga=agacchi (bentuk tata bahasa alternatif). Tanpa izin (nanuññato): tanpa cuti; dia tidak dipecat oleh kami, kami tidak mengatakan, ‘Pegilah ke alam lain,12 putraku!’ Dari sini (ito): dari dunia ini.13 Pergi (gato): meninggalkan. Sebagaimana dia datang (yathagato): cara dia datang, yang artinya dia datang benar-benar14 tanpa undangan kami. Demikian pula dia pergi (tathagato): dengan cara yang sama dia pergi. Karena dia datang disebabkan hanya oleh perbuatan-perbuatannya sendiri, demikian pula dia pergi juga hanya karena perbuatan-perbuatannya sendiri; dengan cara ini kerja kamma diketahui.15 Dalam keadaan seperti ini apa gunanya ratap tangis? (tattha ka paridevana): karena samsara berguling terus tanpa ada yang mengendalikan, apa sesungguhnya guna ratap tangis karena kematian? Hal ini menunjukkan bahwa ratap tangis tidak cocok dan seharusnya tidak dilakukan oleh orang yang memiliki pandangan terang.
Setelah mendengar apa yang dikatakan istri brahmana itu, Sakka bertanya pada saudara perempuannya, ‘Apakah hubungan almarhum dengan engkau, wahai putri yang baik?’ ‘Dia dulu saudara lakiku, tuan.’ ‘Wahai sahabat, seorang saudara perempuan tentunya mencintai saudara lelakinya; mengapa engkau tidak menangis?’ Dia mengucapkan dua syair yang menceritakan alasan mengapa dia tidak menangis:
5. ‘Seandainya saya meratap, saya akan menjadi kurus kering. Apakah buahnya bagiku dalam hal itu? Hal itu hanya akan menambah kesedihan sanak saudara kami, teman-teman kami dan mereka yang mengharapkan yang baik-baik.16
6. Apa yang sedang terbakar itu tidak sadar akan ratap tangis sanak saudara. Oleh karenanya saya tidak meratapi dia; dia telah pergi ke tempat yang sudah merupakan tempat baginya.’
5 Di sini seandainya saya meratap, saya akan menjadi kurus kering (sace rode kisa assam): seandainya saya menangis, saya akan menjadi kurus dan tubuhku akan tersia-sia. Apakah buahnya bagiku dalam hal itu? (tattha me kim phalam siya): apakah yang mungkin menjadi buahnya, apakah keuntungannya, bagiku; dalam hal itu, dalam meratap karena kematian saudara lakiku? [65] Saudara lakiku tidak akan (kembali hidup) dengan itu, bahkan dia juga tidak dapat pergi ke alam bahagia dengan itu – demikian artinya. Hal itu hanya akan menambah kesedihan bagi sanak saudara kami, teman-teman kami dan mereka yang mengharapkan yang baik-baik (ñatimittasuhajjanam bhiyo no arati siya): menangisi saudara lakiku pada saat kematiannya hanya akan menimbulkan kesengsaraan yang berlebihan, bahkan lebih banyak penderitaan, bagi sanak saudara kami, teman-teman kami da mereka yang mengharapkan yang baik-baik.
Setelah mendengar apa yang dikatakan oleh saudara perempuannya, Sakka bertanya kepada istrinya, ‘Apakah hubungan almarhum dengan engkau?’ ‘Dia dahulu suamiku, tuan’ (jawabnya). ‘Wahai sahabat, seorang wanita tentu menyayangi suaminya dan jika si suami mati, jandanya akan merana. Mengapa engkau tidak menangis?’ Dia juga mengucapkan dua syair yang menceritakan alasan mengapa dia tidak menangis:
7. ‘Sebagaimana seorang anak yang menangis minta rembulan yang sedang naik, mirip itulah keberhasilan orang yang meretapi peta.
8. Apa yang sedang terbakar tidak sadar akan ratap tangis sanak saudara. Oleh karenanya saya tidak meratapi dia; dia telah pergi ke tempat yang sudah merupakan tempat baginya.’
7 Di sini seorang anak (darako): anak yang bodoh. Rembulan (candam): lingkaran rembulan. Sedang naik (gacchantam): sedang naik17 di cakrawala. Menangis minta (anurodati): menangis sambil mengatakan, ‘Tangkaplah roda kereta itu dan berikan kepadaku!’ Mirip itulah keberhasilan (evam sampadam ev’ etam): ratap tangis orang yang meratapi peta, yang sudah mati, hasilnya sama, dan mirip, dengan keinginan untuk menangkap rembulan ketika naik ke langit, karena ini merupakan pengharapan untuk suatu objek yang tidak dapat diperoleh – demikianlah artinya.
Setelah mendengar apa yang dikatakan istrinya18, dia bertanya kepada pembantu perempuannya, ‘Wahai sahabat, apakah hubungan alamarhum dengan engkau?’19 ‘Dia dahulu adalah majikanku, tuan.’ ‘Jika demikian, kamu pasti bekerja hanya setelah dipukuli olehnya. Saya rasa itulah sebabnya engkau tidak menangis, karena engkau berpikir bahwa dengan kematiannya engkau terbebas dari dia.’ ‘Jangan berbicara demikian, tuan, sungguh tidak pantas [66]. Putra majikan saya berperilaku baik dan memiliki kesabaran, keramahtamahan dan kebaikan hati yang luar biasa – dia bagaikan putra yang tumbuh di jantung hatiku sendiri.’ ‘Kalau demikian mengapa engkau tidak menangis?’ Dia juga mengucapkan dua syair yang menceritakan alasan mengapa dia tidak menangis:
9. ‘Wahai brahmana, sebagaimana pot-air yang telah pecah tidak dapat disatukan lagi, mirip itu pula keberhasilan orang yang meratapi peta.
10. Apa yang sedang terbakar tidak sadar akan ratap tangis sanak saudara. Oleh karenanya saya tidak meratapi dia; dia telah pergi ke tempat yang sudah merupakan tempat baginya.’
9 Di sini Wahai brahmana, sebagaimana pot-air yang telah pecah tidak dapat disatukan lagi (yatha20 pi brahme udakumbho bhinno appatisandhiyo): wahai brahmana, persis seperti pot-air yang telah pecah karena dipukul palu tidak akan dapat disatukan lagi, tidak akan dapat diperbaiki menjadi seperti sedia kala. Yang lain sudah cukup jelas karena telah dinyatakan di atas.
Setelah mendengar pembicaraan Dhamma mereka, Sakka berkata dengan bakti di hatinya, ‘Betapa mendalamnya kalian telah mengembangkan kesadaran akan kematian. Mulai (hari) ini dan selanjutnya, tidak perlu lagi kalian bekerja membajak dan sebagainya.’ Dia memenuhi rumah mereka dengan Tujuh Harta Karun21 dan menasihati dengan mengatakan, ‘Janganlah lalai memberikan dana; pertahankanlah moralitas dan jalankan Uposatha’. Lalu setelah mengungkapkan (identitas sejati)-nya kepada mereka, dia kembali ke tempat tinggalnya sendiri. Brahmana itu beserta orang-orang lain melakukan perbuatan-perbuatan berjasa dengan memberikan dana dll. dan setelah menjalani seluruh masa kehidupan mereka, mereka pun terlahir di alam dewa.
Ketika Sang Guru telah menceritakan kembali cerita Jataka ini dan telah mencabut22 anak panah kesedihan dari umat awam itu, Beliau kemudian menjelaskan (Empat) Kebenaran (Mulia). Di akhir khotbah Beliau, umat awam itu mantap di dalam buah-sotapatti.
Penjelasan mengenai Cerita Peta Ular selesai – demikianlah penjelasan mengenai arti bab pertama, Bab Ular, yang terdiri dari dua belas cerita pada Cerita-cerita Makhluk Peta dari Khuddaka Nikaya ini berakhir.23
Catatan
mahakarunasamapattito
Bandingkan D ii 38 dst.
maranasatibhavana; perenungan tentang kematian, marananussati adalah salah satu dari empat puluh kammatthana. Lihat Vism viii 1-41 (Jalan Kesucian hal. 247-259).
Di dalam cerita Jataka, dikatakan bahwa Bodhisatta itu adalah ayahnya dan meskipun Sakka muncul di dalam cerita, tidak ada petunjuk bahwa dia memiliki hubungan dengan putra yang sudah meninggal itu.
Mungkin artinya di sini hanyalah ‘yang telah meninggal’ atau ‘mati dan pergi’.
paribbhamanto, secara harafiah berkelana kian kemari. Pastilah ada juga persamaan antara ular yang melanjutkan perjalanan ‘seperti yang ia inginkan’ (yatha kamam) dengan makhluk yang melanjutkan perjalanan ‘sesuai dengan perbuatan-perbuatannya’ (yatha kammam).
Terbaca ayu-usuma-viññane ite kayato apagate dengan Se untuk ayusmaviññanato apagate (Be ayu-usma-) pada teks; mengenai ketiga hal ini lihat M i 296, S iii 143, Thig 468 (bukan Thag seperti yang dinyatakan di MLS i 356 no. 3) dan bandingkan CPD sv ayu.
Terbaca tam cuti-anantaram eva dengan Se Be untuk ti vuccati tadanantaram eva pada teks.
Menjadi matang.
hatthapade santhapetva, secara harafiah mantap pada tangan dan kaki. Gehman menyarankan ‘Saya menaruh tangan dan kakinya’ dan Cerita-cerita Jataka iii 109 terbaca ‘mengerahkan gerakan-gerakan tangan dan kakinya’; ini bisa sekedar berarti ‘membesarkan’.
Bandingkan Thig 129.
paralokato, biasanya berarti ‘alam berikiutnya’ atau ‘dunia di luar’ baik dengan acuan pada masa depan dan dalam membedakan dengan dunia manusia. Tetapi di sini jelas mengacu pada masa lalu dan tidak ada yang menyarankan apakah dia datang dari alam manusia atau alam lain.
Terbaca idhalokato untuk dhalokato pada teks.
Terbaca eva dengan Se Be untuk evam pada teks.
Lihat M i 265 dst. di mana dikatakan tiga hal diperlukan untuk kehamilan; juga bandingkan M ii 157.
suhajjanam, tidak tercatat dalam PED. Teks harus terbaca, dengan Se Be, ñatimitta-, bukan ñatimitta-.
Terbaca abbhussukkamanam dengan Se Be untuk abbhuggamanam pada teks, suatu istilah yang biasanya digunakan untuk gerakan tubuh surgawi – misalnya M i 317 = S iii 156 = It 20; bandingkan KS iii 133 n. 3.
Terbaca tassa dengan Se Be untuk tassa pada teks.
Terbaca tuyham demikian dengan Se Be untuk tvam tassa pada teks.
Teks salah mengutip yattha.
sattaratanabharitam; ungkapan itu muncul di S iii 83 di mana kitab komentar mengatakan bahwa ini merupakan tujuh bojjhanga, atau faktor-faktor pencerahan spiritual, tetapi di sini kelihatannya tidak mungkin. (Acuan dalam PED sv ratana untuk S ii 217 sebenarnya merupakan acuan untuk contoh ratana2 dan harus dibetulkan.) Daftar untuk tujuh harta moral (dhana) diberikan di A iv 4 dst. (bandingkan Miln 336) tetapi di sini sekali lagi ini kelihatannya tidak tepat. Sebaliknya terlihat sama tidak mungkinnya jika yang dimaksudkan adalah tujuh harta cakkavattin (D ii 16, 172 dst., 187 dst., dll.). Cerita Jataka hanya menyatakan bahwa seeblum pergi, dia memenuhi rumah mereka dengan kekayaan yang tak terhitung banyaknya (aparimitamdhanam katva).
Terbaca samuddharitva dengan Be untuk Se, samuttharitva pada teks.
Demikian Be.
Diceritakan bahwa di Savatthi ada seorang umat awam yang putranya meninggal. Karena amat sedih dia meratapi dan menangisi kematian putranya. Dia hanya tinggal di rumah saja, tidak keluar dan juga tidak bekerja. Menjelang fajar, Sang Guru telah keluar dari meditasi cinta kasih Beliau yang besar.1 Ketika sedang meneliti dunia dengan Mata Buddha-nya,2 Beliau melihat umat awam itu. Maka pagi itu, Sang Buddha berpakaian awal dan dengan membawa jubah serta mangkuk-Nya, Beliau pergi dan berdiri di pintu rumah umat awam itu. Mendengar kedatangan Sang Guru, umat awam itu bangkit dengan cepat dan keluar untuk menemui Sang Buddha. Dia mengambil mangkuk dari tangan Sang Buddha, mempersilahkan Beliau masuk rumah dan menawarkan tempat duduk yang dipilihnya. Sang Buddha duduk di tempat yang telah ditunjukkan. Umat itu memberikan penghormatan kepada Beliau, dan kemudian duduk di satu sisi. Sang Buddha berkata, ‘Wahai umat awam, mengapa engkau tampak seperti orang yang dikuasai kesedihan?’ ‘Ya, Bhante, anak saya tercinta telah meninggal – karena itulah saya dikuasai oleh kesedihan’ (jawabnya). Sang Buddha kemudian mengulang Jataka Ular* (dengan tujuan) menghalau kesedihannya.
* Nomor 354
Dahulu kala, di Benares di kerajaan Kasi hiduplah satu keluarga brahmana bernama Dhammapala. Semua anggota keluarga itu -brahmana dan istrinya, putra dan putrinya, menantu dan pelayan perempuannya- dibiasakan mengolah kesadaran akan kematian.3 [62] Bilamana salah seorang meninggalkan rumah, brahmana itu akan menasihati yang lain dan kemudian pergi tanpa khawatir. Suatu hari brahmana itu meninggalkan rumah dengan putranya untuk pergi ke ladang dan membajak, sementara putranya membuat api dengan rumput dan ranting kering. Pada waktu itu, seekor ular hitam (yang berbisa), karena takut terbakar, meninggalkan lubang pohon dan menggigit putra brahmana itu. Dia pingsan akibat racun ular itu, jatuh di sana dan meninggal (yang kemudian) lahir sebagai Sakka, raja para dewa. Ketika brahmana itu melihat bahwa putranya sudah meninggal, dia berkata kepada laki-laki yang lewat di tempat dia sedang bekerja, ‘Tolonglah, sahabat. Pergilah ke rumahku dan beritahulah istriku bahwa dia harus mandi dan mengenakan pakaian yang bersih dan kemudian datang kemari dengan makanan untuk satu orang, rangkaian bunga, wewangian dan sebagainya.’ Dia pergi ke sana dan memberitahu wanita itu demikian. Para anggota keluarga menjalankan apa yang dikatakan brahmana itu. Brahmana itu lalu mandi, makan, meminyaki diri dan, dikelilingi oleh pelayan-pelayannya, menaruh tubuh putranya di tumpukan kayu pembakaran dan menyalakannya. Kemudian dia berdiri di sana seolah-olah dia (hanya) membakar batang kayu, tanpa ada rasa sedih maupun tersiksa. Pikirannya terpusat pada ide ketidakkekalan.
Nah, Bodhisatta kitalah putra brahmana yang pada waktu itu telah muncul sebagai Sakka.4 ketika dia merenungkan perbuatan-perbuatan berjasa yang telah dilakukannya di dalam kehidupannya yang lalu, dia merasakan belas kasihan pada ayah dan sanak saudaranya. Maka dia pun pergi ke sana dengan menyamar sebagai brahmana. Ketika melihat bahwa sanak saudaranya tidak meratapi dia, dia berkata, ‘Wahai kalian di sana – kalian yang sedang memasak daging rusa, tolong berilah kami daging; saya lapar!’ ‘Ini bukan daging rusa, wahai brahmana. Ini adalah manusia’, jawabnya. ‘Kalau begitu, apakah dia musuhmu?’ ‘Dia bukan musuh, melainkan darah daging kami sendiri, anak saya yang masih muda, yang memiliki keluhuran tinggi.’ ‘Mengapa kalian tidak meratap bila putramu yang masih muda dengan keluhuran seperti itu meninggal?’ Mendengar hal ini, brahmana itu mengucapkan dua syair untuk menceritakan alasan mengapa dia tidak bersedih:
1. ‘Bagaikan ular yang melepaskan kulit tuanya, personnya, dan kemudian melanjutkan perjalanannya, demikian pula pada saat kematian peta itu5 melepaskan tubuhnya yang sudah tak berguna.
2. Apa yang sedang terbakar itu tidak sadar akan ratap tangis sanak saudara. Oleh karenanya saya tidak meratapi dia; dia telah pergi ke tempat yang sudah merupakan tempat baginya.’
1 [63] Di sini ular (urago): uraga adalah istilah deskriptif untuk ular: pada dadanya (urena) itulah ular bergerak ke sana kemari (gacchati). Kulit tuanya (tacam jinnam): kulitnya, selongsongnya, yang sudah tua, usang, karena keadaannya yang sudah lapuk. Melepaskan personnya dan kemudian melanjutkan perjalanannya (hitva gacchati santanum): sebagaimana ular (yang lewat) di antara pepohonan, cabang, akar atau batu, untuk melepaskan dari tubuhnya kulit tua yang menyebabkan dia menderita, seolah-olah melepaskan jaket yang ketat. Setelah melepaskan dan membuangnya, kemudian dia melanjutkan perjalanan seperti yang diinginkan. Demikian pula makhluk yang melewati6 samsara meninggalkan ‘person’nya yang sudah usang, tubuhnya yang lapuk, karena tenaga perbuatan-perbuatannya dahulu telah habis. Kemudian dia melanjutkan perjalanannya, melanjutkan perjalanan sesuai dengan perbuatan-perbuatannya. Artinya, dia muncul lewat keberadaannya yang diperbaharui. Demikian (evam): dia mengatakan hal ini sambil menunjuk ke tubuh putranya yang sedang terbakar. Tubuhnya yang sudah tak berguna (sarire nibbhoge): tubuh yang telah kehilangan kegunaannya, yaitu yang tidak bermanfaat; sebagaimana demikian baginya, demikian pula bagi yang lain. Peta (pete): ketika vitalitas, panas dan kesadaran telah lenyap, telah meninggalkan tubuh itu.7 Pada saat kematian (kalakate sati): ketika orang menemui ajal.
2 Oleh karenanya (tasma): karena, dengan perginya kesadaran, tubuh yang sedang terbakar itu tidak sadar akan rasa sakit akibat dibakar serta tidak sadar akan kesedihan dan ratap tangis sanak saudara yang tercinta, maka saya tidak menangis dengan dalih putraku ini. Dia telah pergi ke tempat yang sudah merupakan tempat baginya (gato so tassa ya gati): meskipun demikian, makhluk yang mati tidaklah lenyap; sebaliknya, begitu dia jatuh,8 begitu dia pergi menuju tempat yang dikatakan telah tersedia baginya sebagai hasil perbuatan orang yang mati itu dalam mencari kesempatannya.9 Dia tidak menunggu raungan tangis dan ratapan sanak saudara yang dahulu, dan tidak ada manfaat apa pun yang bisa dicapai lewat ratap tangis sanak keluarga yang dahulu – demikianlah artinya.
Ketika brahmana itu telah mewujudkan ketrampilannya dengan sepenuhnya memusatkan pikiran (pada ide ketidakkekalan), Sakka, yang menyamar sebagai brahmana itu, berkata kepada istri brahmana, ‘Wahai ibu yang baik, apakah hubungan almarhum dengan engkau?’ ‘Dia dulu adalah putraku yang sudah dewasa, tuan, yang telah saya bawa di dalam kandungan selama sepuluh bulan, disusui dan diajar merangkak.’10 ‘Walaupun ayahnya tidak menangis, karena memang sifat laki-laki demikian, hati seorang ibu pasti lembut – maka mengapa engkau tidak menangis?’ Mendengar hal ini, wanita itu mengucapkan dua syair yang menceritakan alasan mengapa dia tidak menangis:
3. [64] ‘Dia datang dari sana tanpa undangan11 dan pergi dari sini tanpa izin. Sebagaimana dia datang, demikian pula dia pergi. Dalam keadaan seperti ini apa gunanya ratap tangis?
4. Apa yang sedang terbakar itu tidak sadar akan ratap tangis sanak keluarga. Oleh karenanya saya tidak meratapi dia, dia telah pergi ke tempat yang sudah merupakan tempat baginya.’
3 Di sini tanpa undangan (anabbhito): tidak dipanggil; dia tidak diminta datang, kami tidak mengatakan, ‘Datanglah, jadilah putraku!’ Dari sana (tato): dari mana dia sebelumnya berada, dari alam lain.12 Dia datang: aga=agacchi (bentuk tata bahasa alternatif). Tanpa izin (nanuññato): tanpa cuti; dia tidak dipecat oleh kami, kami tidak mengatakan, ‘Pegilah ke alam lain,12 putraku!’ Dari sini (ito): dari dunia ini.13 Pergi (gato): meninggalkan. Sebagaimana dia datang (yathagato): cara dia datang, yang artinya dia datang benar-benar14 tanpa undangan kami. Demikian pula dia pergi (tathagato): dengan cara yang sama dia pergi. Karena dia datang disebabkan hanya oleh perbuatan-perbuatannya sendiri, demikian pula dia pergi juga hanya karena perbuatan-perbuatannya sendiri; dengan cara ini kerja kamma diketahui.15 Dalam keadaan seperti ini apa gunanya ratap tangis? (tattha ka paridevana): karena samsara berguling terus tanpa ada yang mengendalikan, apa sesungguhnya guna ratap tangis karena kematian? Hal ini menunjukkan bahwa ratap tangis tidak cocok dan seharusnya tidak dilakukan oleh orang yang memiliki pandangan terang.
Setelah mendengar apa yang dikatakan istri brahmana itu, Sakka bertanya pada saudara perempuannya, ‘Apakah hubungan almarhum dengan engkau, wahai putri yang baik?’ ‘Dia dulu saudara lakiku, tuan.’ ‘Wahai sahabat, seorang saudara perempuan tentunya mencintai saudara lelakinya; mengapa engkau tidak menangis?’ Dia mengucapkan dua syair yang menceritakan alasan mengapa dia tidak menangis:
5. ‘Seandainya saya meratap, saya akan menjadi kurus kering. Apakah buahnya bagiku dalam hal itu? Hal itu hanya akan menambah kesedihan sanak saudara kami, teman-teman kami dan mereka yang mengharapkan yang baik-baik.16
6. Apa yang sedang terbakar itu tidak sadar akan ratap tangis sanak saudara. Oleh karenanya saya tidak meratapi dia; dia telah pergi ke tempat yang sudah merupakan tempat baginya.’
5 Di sini seandainya saya meratap, saya akan menjadi kurus kering (sace rode kisa assam): seandainya saya menangis, saya akan menjadi kurus dan tubuhku akan tersia-sia. Apakah buahnya bagiku dalam hal itu? (tattha me kim phalam siya): apakah yang mungkin menjadi buahnya, apakah keuntungannya, bagiku; dalam hal itu, dalam meratap karena kematian saudara lakiku? [65] Saudara lakiku tidak akan (kembali hidup) dengan itu, bahkan dia juga tidak dapat pergi ke alam bahagia dengan itu – demikian artinya. Hal itu hanya akan menambah kesedihan bagi sanak saudara kami, teman-teman kami dan mereka yang mengharapkan yang baik-baik (ñatimittasuhajjanam bhiyo no arati siya): menangisi saudara lakiku pada saat kematiannya hanya akan menimbulkan kesengsaraan yang berlebihan, bahkan lebih banyak penderitaan, bagi sanak saudara kami, teman-teman kami da mereka yang mengharapkan yang baik-baik.
Setelah mendengar apa yang dikatakan oleh saudara perempuannya, Sakka bertanya kepada istrinya, ‘Apakah hubungan almarhum dengan engkau?’ ‘Dia dahulu suamiku, tuan’ (jawabnya). ‘Wahai sahabat, seorang wanita tentu menyayangi suaminya dan jika si suami mati, jandanya akan merana. Mengapa engkau tidak menangis?’ Dia juga mengucapkan dua syair yang menceritakan alasan mengapa dia tidak menangis:
7. ‘Sebagaimana seorang anak yang menangis minta rembulan yang sedang naik, mirip itulah keberhasilan orang yang meretapi peta.
8. Apa yang sedang terbakar tidak sadar akan ratap tangis sanak saudara. Oleh karenanya saya tidak meratapi dia; dia telah pergi ke tempat yang sudah merupakan tempat baginya.’
7 Di sini seorang anak (darako): anak yang bodoh. Rembulan (candam): lingkaran rembulan. Sedang naik (gacchantam): sedang naik17 di cakrawala. Menangis minta (anurodati): menangis sambil mengatakan, ‘Tangkaplah roda kereta itu dan berikan kepadaku!’ Mirip itulah keberhasilan (evam sampadam ev’ etam): ratap tangis orang yang meratapi peta, yang sudah mati, hasilnya sama, dan mirip, dengan keinginan untuk menangkap rembulan ketika naik ke langit, karena ini merupakan pengharapan untuk suatu objek yang tidak dapat diperoleh – demikianlah artinya.
Setelah mendengar apa yang dikatakan istrinya18, dia bertanya kepada pembantu perempuannya, ‘Wahai sahabat, apakah hubungan alamarhum dengan engkau?’19 ‘Dia dahulu adalah majikanku, tuan.’ ‘Jika demikian, kamu pasti bekerja hanya setelah dipukuli olehnya. Saya rasa itulah sebabnya engkau tidak menangis, karena engkau berpikir bahwa dengan kematiannya engkau terbebas dari dia.’ ‘Jangan berbicara demikian, tuan, sungguh tidak pantas [66]. Putra majikan saya berperilaku baik dan memiliki kesabaran, keramahtamahan dan kebaikan hati yang luar biasa – dia bagaikan putra yang tumbuh di jantung hatiku sendiri.’ ‘Kalau demikian mengapa engkau tidak menangis?’ Dia juga mengucapkan dua syair yang menceritakan alasan mengapa dia tidak menangis:
9. ‘Wahai brahmana, sebagaimana pot-air yang telah pecah tidak dapat disatukan lagi, mirip itu pula keberhasilan orang yang meratapi peta.
10. Apa yang sedang terbakar tidak sadar akan ratap tangis sanak saudara. Oleh karenanya saya tidak meratapi dia; dia telah pergi ke tempat yang sudah merupakan tempat baginya.’
9 Di sini Wahai brahmana, sebagaimana pot-air yang telah pecah tidak dapat disatukan lagi (yatha20 pi brahme udakumbho bhinno appatisandhiyo): wahai brahmana, persis seperti pot-air yang telah pecah karena dipukul palu tidak akan dapat disatukan lagi, tidak akan dapat diperbaiki menjadi seperti sedia kala. Yang lain sudah cukup jelas karena telah dinyatakan di atas.
Setelah mendengar pembicaraan Dhamma mereka, Sakka berkata dengan bakti di hatinya, ‘Betapa mendalamnya kalian telah mengembangkan kesadaran akan kematian. Mulai (hari) ini dan selanjutnya, tidak perlu lagi kalian bekerja membajak dan sebagainya.’ Dia memenuhi rumah mereka dengan Tujuh Harta Karun21 dan menasihati dengan mengatakan, ‘Janganlah lalai memberikan dana; pertahankanlah moralitas dan jalankan Uposatha’. Lalu setelah mengungkapkan (identitas sejati)-nya kepada mereka, dia kembali ke tempat tinggalnya sendiri. Brahmana itu beserta orang-orang lain melakukan perbuatan-perbuatan berjasa dengan memberikan dana dll. dan setelah menjalani seluruh masa kehidupan mereka, mereka pun terlahir di alam dewa.
Ketika Sang Guru telah menceritakan kembali cerita Jataka ini dan telah mencabut22 anak panah kesedihan dari umat awam itu, Beliau kemudian menjelaskan (Empat) Kebenaran (Mulia). Di akhir khotbah Beliau, umat awam itu mantap di dalam buah-sotapatti.
Penjelasan mengenai Cerita Peta Ular selesai – demikianlah penjelasan mengenai arti bab pertama, Bab Ular, yang terdiri dari dua belas cerita pada Cerita-cerita Makhluk Peta dari Khuddaka Nikaya ini berakhir.23
Catatan
mahakarunasamapattito
Bandingkan D ii 38 dst.
maranasatibhavana; perenungan tentang kematian, marananussati adalah salah satu dari empat puluh kammatthana. Lihat Vism viii 1-41 (Jalan Kesucian hal. 247-259).
Di dalam cerita Jataka, dikatakan bahwa Bodhisatta itu adalah ayahnya dan meskipun Sakka muncul di dalam cerita, tidak ada petunjuk bahwa dia memiliki hubungan dengan putra yang sudah meninggal itu.
Mungkin artinya di sini hanyalah ‘yang telah meninggal’ atau ‘mati dan pergi’.
paribbhamanto, secara harafiah berkelana kian kemari. Pastilah ada juga persamaan antara ular yang melanjutkan perjalanan ‘seperti yang ia inginkan’ (yatha kamam) dengan makhluk yang melanjutkan perjalanan ‘sesuai dengan perbuatan-perbuatannya’ (yatha kammam).
Terbaca ayu-usuma-viññane ite kayato apagate dengan Se untuk ayusmaviññanato apagate (Be ayu-usma-) pada teks; mengenai ketiga hal ini lihat M i 296, S iii 143, Thig 468 (bukan Thag seperti yang dinyatakan di MLS i 356 no. 3) dan bandingkan CPD sv ayu.
Terbaca tam cuti-anantaram eva dengan Se Be untuk ti vuccati tadanantaram eva pada teks.
Menjadi matang.
hatthapade santhapetva, secara harafiah mantap pada tangan dan kaki. Gehman menyarankan ‘Saya menaruh tangan dan kakinya’ dan Cerita-cerita Jataka iii 109 terbaca ‘mengerahkan gerakan-gerakan tangan dan kakinya’; ini bisa sekedar berarti ‘membesarkan’.
Bandingkan Thig 129.
paralokato, biasanya berarti ‘alam berikiutnya’ atau ‘dunia di luar’ baik dengan acuan pada masa depan dan dalam membedakan dengan dunia manusia. Tetapi di sini jelas mengacu pada masa lalu dan tidak ada yang menyarankan apakah dia datang dari alam manusia atau alam lain.
Terbaca idhalokato untuk dhalokato pada teks.
Terbaca eva dengan Se Be untuk evam pada teks.
Lihat M i 265 dst. di mana dikatakan tiga hal diperlukan untuk kehamilan; juga bandingkan M ii 157.
suhajjanam, tidak tercatat dalam PED. Teks harus terbaca, dengan Se Be, ñatimitta-, bukan ñatimitta-.
Terbaca abbhussukkamanam dengan Se Be untuk abbhuggamanam pada teks, suatu istilah yang biasanya digunakan untuk gerakan tubuh surgawi – misalnya M i 317 = S iii 156 = It 20; bandingkan KS iii 133 n. 3.
Terbaca tassa dengan Se Be untuk tassa pada teks.
Terbaca tuyham demikian dengan Se Be untuk tvam tassa pada teks.
Teks salah mengutip yattha.
sattaratanabharitam; ungkapan itu muncul di S iii 83 di mana kitab komentar mengatakan bahwa ini merupakan tujuh bojjhanga, atau faktor-faktor pencerahan spiritual, tetapi di sini kelihatannya tidak mungkin. (Acuan dalam PED sv ratana untuk S ii 217 sebenarnya merupakan acuan untuk contoh ratana2 dan harus dibetulkan.) Daftar untuk tujuh harta moral (dhana) diberikan di A iv 4 dst. (bandingkan Miln 336) tetapi di sini sekali lagi ini kelihatannya tidak tepat. Sebaliknya terlihat sama tidak mungkinnya jika yang dimaksudkan adalah tujuh harta cakkavattin (D ii 16, 172 dst., 187 dst., dll.). Cerita Jataka hanya menyatakan bahwa seeblum pergi, dia memenuhi rumah mereka dengan kekayaan yang tak terhitung banyaknya (aparimitamdhanam katva).
Terbaca samuddharitva dengan Be untuk Se, samuttharitva pada teks.
Demikian Be.
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com