Sariputta | Suttapitaka | PENJELASAN MENGENAI CERITA PETA MANGGA Sariputta

PENJELASAN MENGENAI CERITA PETA MANGGA

Amba­vana­peta­vatthu (Pv 47 )

‘Kolam terataimu ini amat memikat.’ Ini dikatakan ketika Sang Guru sedang berdiam di Savatthi sehubungan dengan peta ‘mangga’.

Dikatakan bahwa di Savatthi ada seorang perumahan-tangga yang kekayaannya telah habis. Isterinya telah meninggal dan dia mempunyai anak perempuan satu-satunya yang ditinggal di rumah seorang temannya. Kemudian, dengan membawa barang-barang (yang telah dibelinya) lewat pinjaman seratus kahapana, perumah-tangga itu berangkat dengan karavan untuk berdagang. Tak lama sesudahnya dia kembali (menuju ke rumah) dengan karavannya, setelah memperoleh laba limaratus kahapana di atas modal awalnya. [274] Dalam perjalanan, para perampok mendatangi karavan itu dan mengelilinginya. Orang-orang karavan lari ke semua arah. Tetapi perumah tangga itu menumpan kahapananya di semak-semak dan bersembunyi di dekatnya. Para perampok menangkapnya dan kemudian membunuhnya. Karena keserakahannya terhadap hartanya itu, dia muncul sebagai peta di tempat itu juga.

Ketika para pedagang kembali ke Savatthi, mereka melaporkan peristiwa itu kepada putrid perumah-tangga itu. Putrinya ini amat bersedih dan meratap secara berlebihan, baik karena kematian ayahnya maupun karena cemas akan sarana penghidupannya sendiri. Seorang pria kaya yang merupakan teman ayahnya menghiburnya dengan berkata, ‘Persis seperti semua tempayan yang dibuat oleh ahli tembikar akan berakhir dengan kehancuran, begitu juga kehidupan para makhluk hidup akan berakhir2 dengan kehancuran. Kematian sudah umum bagi semuanya dan tidak ada penangkalnya. Maka janganlah engkau bersedih meratapi ayahmu secara berlebihan. Saya akan menjadi ayahmu dan engkau akan menjadi putriku. Untuk ayahmu saya akan melakukan apa yang harus dilakukan. Engkau dapat hidup bahagia di rumah ini tanpa terganggu, anggap saja seperti rumah ayahmu.’ Kesedihannya mereda3 mendengar kata-kata pria itu dan dia menjadi sangat hormat dan menghargai laki-laki itu, seolah-olah itu adalah ayahnya sendiri. Karena lingkungannya yang miskin, perempuan itu menjadi pegawai rumah tangga. Dengan berlalunya waktu, dia ingin melakukan ritual untuk yang telah mati atas nama ayahnya. Dia memasak bubur nasi dan di dalam mangkuk tembaga dia menaruh beberapa mangga manis yang sudah benar-benar masak berwarna merah arsenik. Kemudian dia menyuruh pembentu perempuannya untuk membawakan bubur nasi dan mangga-mangga itu ke vihara. Dia menghormat Sang Guru dan kemudian berkata, “Semoga Bhante sudi berbaik hati unutk menerima dana saya ini.” Sang Guru merasa tergugah, dan dengan welas asih yang besar Beliau mengabulkan keinginannya dan menunjukkan bahwa beliau akan duduk. Dengan amat gembira perempuan itu menebarkan kain yang bersih dan amat segar yang telah dibawanya, dan menyiapkan tempat duduk bagi Sang Buddha yang agung. Kemudian dia menawarkan tempat duduk ini, dan Sang Buddha duduk di tempat yang telah disediakan. Kemudian dia menyajikan bubur nasi kepada Sang Buddha,dan Sang Buddha menerima bubur nasi itu. Selanjutnya dia memberikan bubur nasi kepada para bhikkhu juga, atas nama Sangha.4Setelah memberikan bubur beras, sekali lagi dengan tangan bersih dia mempersembahkan kepada Sang Buddha buah mangga yang kemudian dimakan Sang Buddha. Dia memberi hormat kepada Sang Buddha [275] dan berkata, ‘Dana yang telah saya lakukan lewat menggelar kain, mempersembahkan bubur beras dan buah mangga, Bhante, semoga, ini mencapai ayahku.’ Sang Buddha berkata, ‘Semoga demikian,’ dan menunjukkan penghargaannya. Perempuan itu memberi hormat, berjalan mengelilingi Sang Buddha dari sebelah kanan, dan kemudian pergi. Segera setelah dia membaktikan5 dana itu, peta tersebut memperoleh hutan mangga, taman, istana, pohon pengabul-keinginan dan kolam teratai serta keelokan surgawi yang luar biasa.

Pada suatu ketika sesudah peristiwa itu, para pedagang tersebut pergi untuk berdagang, mereka sampai pada jalan yang sama dan mendirikan tenda untuk bermalam di tempat yang telah pernah mereka gunakan sebelumnya. Ketika melihat mereka, vimanapeta tersebut menampakkan diri di hadapan mereka bersama dengan taman dan istana dan sebagainya. Ketika melihatnya, para pedagang itu mengucapkan dua syair ini yang menanyakan keelokan yang telah diterimanya:

1. “Kolam terataimu ini amat memikat. Tepiannya yang indah6 datar dan kolam itu memiliki air yang melimpah. Kolam itu penuh bunga7 dan di mana-mana dikerumuni kelompok lebah-bagaimana engkau bisa memperoleh (kolam) yang indah ini?
2. Dan hutan mangga milikmu ini amat menyenangkan, dan memberikan buah di segala musim. Hutan itu sedang berbunga penuh7 dan dimana-mana dikerumuni kelompok lebah-bagaimana engkau bisa memperoleh istana ini?’
1. Di sini, amat memikat: suramma=sutthu ramaniya (ketentuan bentuk majemuk). Datar (sama): memiliki permukaan yang rata. Tepian yang indah (supatittha): tempat-tempat mandi yang indah karena anak tangganya terbuat dari permata. Kolam itu memiliki air yang melimpah (mahodaka): kolam itu memiliki banyak air.

2. Di segala musim (sabbotukam): hutan itu menyebabkan kebahagiaan8 karena pohon-pohonnya dan sebagainya yang berbunga dan memberikan buah sepanjang musim. Untuk alas an inilah dikatakan, ‘dan memberikan buah’. Hutan itu sedang berbunga penuh (sepupphitam): hutan itu selalu berbunga.

Ketika mendengar ini, peta tersebut mengucapkan syair ini untuk menjelaskan apa yang merupakan penyebab sehingga dia memperoleh kolam teratai itu dan sebagainya:

3. ‘Persembahan mangga yang masak, air, dan bubur nasi diberikan oleh putriku – oleh karena inilah maka tempat teduh yang sejuk dan menyenangkan ini diterima olehku di sini’
3. [276] Di sini, karena inilah… diterima olehku di sini (tena me idha labbhati): karena persembahan mangga yang masak, air, dan bubur beras yang diberikan kepada Sang Buddha oleh putriku dan para bhikkhu diberi olehnya atas namaku, oleh karena pemberian yang diberikan oleh putriku maka mangga yang masak (diterima olehku) di sini di hutan mangga surgawi ini di segala musim, dan air surgawi di kolam teratai surgawi yang indah ini; sedangkan karena dana bubur beras dan (kain) yang digelar itulah maka tempat teduh yang sejuk dan menyenangkan (ditemukan) di taman ini, istana dan pohon pengabul-keinginan dan sebgainya di terima di sini, yaitu, tercapai.

Setelah berkata demikian, peta itu membawa para pedagang dan menunjukkan kepada mereka limaratus kahapana dengan berkata,’Engkau boleh mengambil separuh dari ini, dan berikanlah separuh dari ini, dan berikanlah separuh (yang lain) kepada putriku. Suruhlah dia untuk membayar hutang-hutangku dan hidup dalam kenyamanan.’

Pada saatnya para pedagang itu sampai di Savatthi. Mereka memberitahu putrinya dan memberinya (segalanya) termasuk bagian yang diberikan oleh peta itu kepada mereka. Dia memberikan seratus kahapana kepada para kreditornya, sedangkan sisanya diberikan kepada pria kaya teman ayahnya itu. Mengenai dirinya sendiri, dia tetap tinggal sebagai penjaga rumah tangganya. 9Tetapi pria kaya itu mengembalikan uangnya itu kepadanya dengan berkata, ‘Semua ini adalah milikmu saja’, dan menjadikannya ibu rumah tangga sebagai istri anak lelaki tertuanya. Bersama waktu, dia melahirkan seorang anak lelaki dan dia mengucapkan syair ini ketika dia menyusui10 bayinya itu:

4. ‘Lihatlah hasil, bahkan di dalam kehidupan ini, dari berdana, dari menahan diri dan pengendalian diri. Saya dulu adalah budak di dalam keluarga tuanku dan sekarang menantu perempuannya dan ibu rumah tangga.
Kemudian pada suatu hari, Sang Guru, setelah mengetahui kematangan persepsi perempuan itu, menebarkan kecemerlangan-Nya dan menampakkan diri seolah-olah Beliau sedang berdiri berhadapan dengan dia dan mengucapkan syair ini:

5. ‘Dia yang tidak tekun akan dikuasai oleh penampakan yang menyenangkan dari yang tidak menyenangkan, oleh penampakan elok dari yang tidak elok, dan oleh penampakan indah dari apa yang merupakan penderitaan.’11
Di akhir syair ini, perempuan itu mantap di dalam buah sotapatti. Pada hari berikutnya, dia memberikan dana kepada Sangha para bhikkhu dengan Sang Buddha sebagai pemimpinnya [277] dan kemudian mengemukakan masalah itu pada Sang Buddha. Sang Buddha menganggap masalah itu sebagai kebutuhan yang muncul dan mengajarkan Dhamma kepada kelompok yang berkumpul di sana. Ajaran itu bermanfaat bagi orang-orang tersebut.

Catatan :

Be menuliskan Ambavana-, Taman Mangga, di sini.
Bandingkan Sn 577.
Terbaca patippassaddhasoka pada Se Be untuk patipassaddhasoka pada teks.
bandingkan PvA 81.
samuddittha, salah satu bentuk dari kata samuddisati; tidak tercantum di PED.
Terbaca supatittha pada Se untuk Be sutittha pada teks; bandingkan II 1(20), PvA 77.
Terbaca supupphita pada Se Be untuk sampupphita pada teks di v 1; mirip dengan supupphitam untuk sampupphitam di v 2.
Terbaca sukhavaaham pada Se Be untuk sukkhavaham pada teks.
Terbaca attano pitu sahayassa tassa kutumbikassa datva sayam veyyavaccam karonti nivasati pada Se Be untuk attano pitu sahayassa datva sayam veyyavaccam karonti tassa kutumbikassa niyadesi pada teks.
Terbaca upalalenti pada Se Be untuk upalapenti pada teks danbukan upalapenti seperti yang direkomendasikan oleh PED sv upalapeti.
Syair ini berulang di Ud 18 dan J i 410, kitab komentar mengenai yang terakhir ini menyatakan bahwa mereka yang tidak tekun dan yang tidak memiliki kesadaran/ kewaspadaan akan ditaklukkan, diatasi dan dipenuhi oleh penampilan ilusi dari tiga hal ini ( tattha asatam satarupena ti amadhuram eva madhurapatirupakena, pamattam ativattati ti, asatam appiyam dukkhan ti evan tividham pi etena satarupadina akarena sativippavasavasena pamattapuggalam ativattati, abhibhavati ajjhottharati ti attho). Bandingkan komentar yang serupa di S iv 127. Interprestasi Gehman agak keliru; lagipula, bacaan pamattam adalah umum di semua teks, termasuk Ud dan J, dan jelas lebih disukai dibandingkan dengan samattam yang diusulkannya.

Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com