ISTANA SIRIMA
Sirimāvimānavatthu (Vv 16)
Yang Terberkahi sedang berdiam di Rajagaha, di tempat pemberian makan tupai di Hutan Bambu. Dan pada waktu itu, Sirima – si pelacur yang disebutkan di dalam di dalam Cerita di atas – telah meninggalkan profesinya yang tidak murni karena pencapaian buah Pemasuk – Arus.2 Setiap hari dia memberikan dana kepada delapan anggota Sangha yang dipilih lewat kupon. Sejak awal, setiap hari delapan bhikkhu dating ke rumahnya. Dengan mengatakan, “Ambillah ghee, ambillah susu,” dsb. Dia mengisi mangkuk-mangkuk mereka. Makanan yang diperoleh satu bhikkhu cukup untuk tiga atau empat orang. Setiap hari, mekanan yang pantas seniali enambelas kahapana diberikan sebagai dana.
Suatu hari, setelah seorang bhikkhu menikmati Dana Makanan untuk Delapan di rumah Sirima, dia pergi ke vihara yang berjarak tiga yojana. Petang harinya ketika dia sedang duduk di hadapan para Thera, mereka bertanya kepadanya, “Sahabat, dimanakah engkau memperoleh makanan sebelum kemari?” “Saya memperoleh Dana Makanan untuk Delapan dari Sirima.3 “Apakah Sirima mempersembahkan makanan yang telah dibuatnya untuk menerbitkan air liur?” “Saya tidak bisa menjelaskan makanannya. Dia memberikan makanan yang telah dibuatnya sangat lezat. Makanan yang diperoleh satu orang cukup untuk tiga atau empat orang. Tetapi penampilannya jauh lebih elok daripada dana yang diberikannya. Dia sungguh memiliki keelokan yang begini dan begitu….” Dan dia menjelaskan daya tariknya.
Salah satu bhikkhu mendengar penjelasan tentang daya tarik Sirima. Walaupun dia belum pernah melihat Sirima, hanya dengan mendengar saja bhikkhu itu sudah jatuh cinta. Dia berpikir di dalam hati, “Saya ingin pergi dan melihatnya.” Dia pun membicarakan tentang jumlah musim hujan4 (yang telah dia lewatkan), dan bertanya kepada para bhikkhu tentang urutannya5 di dalam Sangha. Dia diberitahu, “Besok, sahabat, karena engkau adalah Thera yang paling senior,6 engkau dapat menerima Dana Makanan untuk Delapan. Langsung dia mengambil mangkuk dan jubahnya, dan di fajar hari dia berangkat. Dia memasuki ruangan kupon, dan sebagai Thera tertua dia pun menerima Dana Makanan untuk Delapan di rumah Sirima.
Tetapi pada saat itu juga, setelah bhikkhu yang makan di hari sebelumnya pergi, tiba-tiba Sirima merasa tubuhnya menderita suatu penyakit. Dia melepaskan segala perhiasannya dan berbaring. Para pelayannya, karena melihat bahwa para bhikkhu telah dating untuk menerima Dana makanan untuk Delapan, memberitahu Sirima. Karena tidak dapat mengambil mangkuk-mangkuk dengan tangannya sendiri atau mengundang para bhikkhu untuk duduk, dia memberikan perintah kepada para pelayannya, “O, para pembantuku, ambillah mangkuk-mangkuk itu, persilahkan tuan-tuan yang terhormat itu untuk duduk, berilah mereka bubur untuk diminum, layanilah mereka dengan makanan keras.7 Dan jika tiba waktunya bagi makanan utama,8 isilah mangkuk-mangkuk mereka dan kembalikanlah kepada mereka.” Pelayan-pelayan itu melakukan apa yang diperintahkan. Kemudian Sirima berkata, “Bantulah aku bangkit dengan cara merangkul tubuhku, dan topanglah aku masuk. Aku akan menyapa tuan-tuan yang terhormat itu.” Dengan ditopang para pelayan, dia dibimbing ke hadapan para bhikkhu. Dia menyapa mereka dengan tubuh yang gemetar. Ketika bhikkhu (yang telah jatuh cinta dengannya) tersebut melihat Sirima, dia berpikir, “Walaupun sakit, perempuan ini memancarkan kecantikan. Bila dia sehat, lengkap dengan semua perhiasannya, seperti apa kecantikannya?” Kekotoran batin yang telah menumpuk selama ratusan ribu tahun menyerang bhikkhu itu. Pikirannya menjadi kacau, dan karena tidak dapat memakan nasinya, dia mengambil mangkuknya dan pergi ke vihara. Dia menutupi mangkuk itu, meletekannya di satu sisi, menebarkan jubahnya di satu sudut dan kemudian berbaring. Walaupun ada bhikkhu lain yang membujuknya, dia tidak mau makan. Maka dia tidak mengisi perutnya sama sekali. Di petang hari itu juga, Sirima meninggal. Raja mengirimkan pesan kepada Sang Guru, “Bhante, Sirima, adik bungsu Jivika, telah meninggal.” Ketika mendengar hal itu, Beliau mengirimkan pesan kepada raja, “Tubuh Sirima jangan dikremasi dulu. Taruhlah di tempat untuk mayat yang tidak akan dibakar, dan jagalah agar gagak dan sebagainya tidak memangsanya.” Raja melakukan hal itu. Tiga hari berlalu. Pada hari ke empat, tubuh Sirima membengkak. Dari sembilan lubang. Belatung keluar. Seluruh tubuh tampak seperti satu pot nasi yang hancur, Raja menyuruh untuk mengumumkan di seluruh kota , “Semua orang harus pergi melihat Sirima, kecuali anak-anak yang harus dilindungi di rumah. Yang tidak pergi akan di denda delapan kahapana.” Dan raja mengirimkan pesan kepada Sang Guru: “Biarlah Sangha dengan Sang Buddha sebagai pemimpinnya dating melihat Sirima.” Sang Buddha mengumumkan kepada para bhikkhu, “Kita akan pergi melihat Sirima.”
Pada waktu itu, si bhikkhu muda telah berbaring selama empat hari, tanpa memperdulikan apa yang dikatakan oleh orang-orang. Dia sama sekali tidak mau makan. Walaupun makanan di dalam mangkuknya telah menjadi busuk, dia tidak juga bangkit. Maka seorang bhikkhu pergi kepadanya dan berkata, “Sahabat, Sang Guru akan pergi melihat Sirima.” Pada saat mendengar kata “Sirima,”bhikkhu muda tersebut bangkit dengan cepat walaupun dikuasai oleh rasa lapar. “Sang Guru akan melihat Sirima, apakah engkau akan itut?” Tanya bhikkhu itu. “Saya akan pergi,” katanya. Dia membuang nasi bususk itu, mencuci mangkuknya dan pergi bersama Sangha. Sang Guru dengan dikelilingi Sangha berdiri di satu kelompok. Sangha bhikkhuni, keluarga raja, dan kelompok umat awam, masing-masing berdiri dikelompoknya sendiri-sendiri. Sang Guru bertanya kepada raja, “Raja yang agung, siapakah dia?” “Bhante, dia adalah saudara perempuan Jivaka, Sirima namanya.” “Apakah ini Sirima?” “Ya, Bhante.” “Kalau demikian, suruhlah mengumumkan di seluruh kota bahwa siapa pun boleh memiliki Sirima dengan membayarkan 1000 kahapana.” Raja menyuruh hal ini dilakukan. Tak ada seorang pun yang berkata “Ya” atau “Tidak untuk tawaran itu. Raja berkata kepada Sang Guru. “Bhante yang terhormat, taka ada seorang pun yang mau.” “Kalau demikian, raja agung, turunkanlah harga.”9 Raja menyuruh mengumumkan lagi, “Bayarlah 500 kahapana, ambillah Sirima.” Ketika raja melihat tidak ada yang mau, dia membuat pengumuman lagi, “Ambillah Sirima dengan membayar 250,” “Bayar 200,” “Bayar 100,” “Bayar 50,” “Bayar 25 kahapana,” “Bayar 10,” “Bayar 1,” “Bayar setengah,” “Bayar seperempat,” “Bayar satu masaka.”10 “Bayar satu Kakanika.”11 Akhirnya dia menyuruh mengumumkan, “Ambillah Sirima tanpa membayar.”
Bahkan tak seorang pun berkata “Ya” atau “tidak”. Raja berkata, “Bhante yang terhormat, tak ada seorang pin yang mau mengambil dia sekali pun tanpa membayar.” Sang Guru berkata, “Lihatlah, para bhikkhu, perempuan yang sangat dicintai oleh dunia ini. Di kota yang sama ini, dulu mereka memberi 1000 kahapana untuk satu hari bersama dia. Namun sekarang tak seorang pun mau mengambil dia sekalipun tanpa membayar. Demikianlah kecantikan, yang penuh dengan kekotoran dan kelapukan, yang dibuat menarik hanya oleh perhiasan yang dipasang, satu massa penyakit karena sembilan lubang yang membusuk, yang disatukan oleh tiga ratus tulang, yang senantiasa melapuk, daya tarik objek bagi banyak pemikiran karena dunia yang tolol banyak memikirkan tubuh itu, tubuh yang tiada-bertahan itu.”12 Dan untuk mengajarkan hal ini Beliau menulang syair:
“Lihatlah boneka yang dicat, suatu massa penyakit, sesuatu yang terpadu,
Melapuk, objek dari banyak pemikiran. Tanpa stabilitas yang kekal.13
Di akhir Ajaran, bhikkhu yang jatuh cinta kepada Sirima kehilangan nafsu kegilaannya; dia mengembangkan pandangan terang dan mencapai tingkat Arahat. Delapan puluh empat ribu manusia menembus Dhamma.Pada saat itu. Sirima, putri-dewa, telah merenungkan keberhasilan dan kesejahteraannya. Ketika merenungkan tempat asalnya, Sirima melihat Yang Terberkahi dikelilingi oleh Sangha para bhikkhu dan kelompok orang-orang yang semuanya berkumpul di samping tubuhnya yang telah menjadi mayat. Dikelilingi lima ratus putrid-dewa dengan lima ratus kereta, Sirima tiba dalam bentuknya yang dapat dilihat. Setelah turun dari kereta kencananya, bersama para pengikutnya nya dia memberi hormat kepada Yang Terberkahi, lalu berdiri dengan sikap penuh bakti. Pada saat itu, Y.M. Vangisa berdiri di dekat Yang Terberkahi. Dia berkata, “Yang Terberkahi, saya ingin bertanya.” “Silahkan, Vangisa, “ kata Tang Terberkahi. Y.M. Vangisa mengajukan pertanyaan berikut ini kepada Sirima, putrid-dewa itu :
1. “Kuda-kudamu yang dipasang, dihias dengan indah, turun melalui langit, kuat, cepat, dan lima ratus kereta kencana, yang diciptakan (oleh tindakan jasamu sendiri14), menemanimu, kuda-kuda itu disemangati oleh kusir-kusirnya.
2. Dengan berhias engkau berdiri di dalam kereta kencana yang agung, berkilau, dengan penampilan yang tanpa cacat, cemerlang, bagaikan api bintang yang bersinar. Saya bertanya kepadamu, sosok yang agung, berasal dari kelompok maklhuk manakah engkau dating menghampiri (Buddha) yang tiada – bandingnya.15
Ditanya demikian oleh Thera tersebut, devata itu menjelaskan tentang dirinya :
3. “Dari kelompok yang dikatakan merupakan (kelompok) tertinggi yang telah mencapai tingginya keinginan, (dimana) para devata selalu bergembira di dalam mencipta, dari kelompok makhluk itulah, sebagai peri yang bisa mengambil bentuk apa pun semaunya, saya telah datang ke sini untuk memberikan penghormatan kepada (Buddha) yang tiada bandingnya.”
Setelah dewi itu menjelaskan kemunculannya di antara para dewa yang bergembira di dalam mencipta, Thera tersebut ingin agar dia menceritakan tentang keadaan kehidupan sebelumnya, tindakan jasa yang telah dilakukannya, dan keyakinan religiusnya.
4. “Perbuatan baik apakah yang dahulu telah engkau lakukan di sini? Karena apakah maka engkau memiliki keagungan yang tak-terbatas, melimpah dalam kebahagiaan, dan memiliki kemampuan kesaktian yang tiada bandingnya untuk melintasi udara sementara keelokanmu bersinar menembus sepuluh penjuru?
5. Engkau dikelilingi dan dihormati oleh para dewa. Dari manakah engkau dulu meninggal, devata, sehingga kini engkau dating di dalam kelahiran yang baik? atau ajaran siapakah yang engkau patuhi? Beritahukanlah kepadaku jika engkau dulu adalah pengikut Sang Buddha.
Berbicara mengenai apa yang ditanyakan oleh Thera tersebut devata itu menyampaikan syair-syair ini :
6. “Dikota16 besar yang terencana dengan baik dan indah di sebuah gunung,17 sebagai pelayan seorang raja19 agung yang termasyur,18 saya terlatih baik dalam tarian dan nyanyian. Di Rajagaha mereka mengenalku sebagai Sirima.
7. Dan Sang Buddha, Yang Tertinggi dalam Melihat, Sang Pembimbing, mengajarku mengenai asal mula penderitaan, (yang) tidak kekal; yang tak terkondisi, berhentinya penderitaan, (yang) abadi, dan tentang Jalan ini, yang tidak bengkok, langsung, membawa keberuntungan.20
8. Ketika saya mendengar keadaan tanpa-kematian, yang tak terkondisi, Ajaran dari Thatagata yang tak-tertandingi,. Saya menjadi amat terkendali di dalam kebiasaan-kebiasaan moral (dan) mantap di dalam Dhamma yang diajarkan oleh Sang Buddha, manusia yang agung.
9. Setelah mengetahui kondisi, yang diajarkan oleh Tathagata yang tiada bandingnya, maka saya sendiri mencapai konsentrasi yang tenang.21 Sungguh jaminan22 tertinggi adalah milikku.
10.Setelah memperoleh keadaan tanpa-kematian yang membuatku berbeda,23 mantap,24 menonjol dalam penembusan, tanpa kebingungan, saya mengalami banyak penghiburan dan kenikmatan.
11. Demikianlah saya sekarang adalah devata yang melihat tanpa-kematian, siswa Tathagata yang tiada bandingnya makhluk yang melihat Dhamma. Yang mantap di dalam buah pertama, (yaitu buah) Pemasuk=Arus, dan tidak ada lagi kelahiran yang buruk (bagiku).
12. Dengan hormat terhadap raja yang masyur di bawah Dhamma, saya telah mendekat untuk menghormat para bhikkhu agung yang bergembira akan apa yang bajik, kelompok para petapa yang membawa keberuntungan.
13. Saya bersukacita di hati, amat gembira, ketika melihat petapa itu, Tathagata, manusia agung, kusir dari makhluk yang dapat dijinakkan, pemotongan keserakahan, bergembira di dalam apa yang bajik, sang pembimbing. Saya menghormati manusia yang amat penuh belas kasih, yang penuh kasih saying.”
emikianlah Sirima, putri-dewa itu, menyatakan secara formal keyakinan yang telah diterimanya, menyatakan keyakinannya di dalam Tiga Permata. Kemudian dia memberi hormat kepada Yang Terberkahi dan Sangha. Setelah melakukan upacara mengelilingi mereka, dia kembali ke alam-dewa itu. Sang Buddha menganggap bahwa turunnya dia (dari alam dewa) merupakan kesempatan untuk berkhotbah dan mengajarkan Dhamma. Di akhir khotbah, bhikkhu yang merindukan Sirima itu mencapai tingkat Arahat, dan khotbah itu bermanfaat juga bagi semua orang yang berkumpul di sana .
Catatan :
Lihat juga Dh.A.iii.104
Lihatlah Istana terakhir, persis sebelum syair-syair itu dimulai
Sirimaya menghilangkan Ee, lihat Be, Ce.
PED mengambil vassagga sebagai varsagara. Frasa vassaggam katheti mengacu pada pemberitahuan jumlah masa-penghujan (Vassa) yang telah dijalani oleh seorang Bhikkhu, karena senioritas di dalam Sangha dihitung dari banyaknya vassa yang telah dimilikinya.
thitikam mengacu pada senioritasnya di dalam Sangha.
sanghatthera mungkin memiliki pengertian bahwa Thera paling seniaor di dalam kelompoklah yang akan pergi makan di rumah Sirima keesokan harinya.
khajjaka, mungkin sirup gula yang dimakan dengan yagu sebagai (bagian dari) makanan pagi, patarasa.
bhatta, yang dimakan sebelum tengah hari.
Ce terbaca addhan untuk aggham, “potong ayan harganya menjadi separuh”.
Jumlah yang sangat kecil, lihat BD. I. 72, n. 1.
Kira-kira satu per delapan atau satu per sepuluh kahapana, setengah masaka, yang hampir tidak ada nilainya.
Perhatikan ‘di’ yang ditulis untuk ti.
Dh. 147, syair yang mendasari cerita Sirima di DhA.iii.104. Juga terdapat di M.ii.64,thag. 769.
Demikian VvA. 79.
anadhivra, demikian dijelaskan di VvA. 80. Bandingkan Ja. Iv. 233.
Rajagaha, yang juga disebut Giribbaja seperti dikatakan di VvA. 82.
Salah satu dari lima gunung yang mengelilingi Rajagaha, disebutkan satu persatu, idem.
Amat terkenal; dijelaskan idem, kebanyakan karena jasa kebajikannya yang besar.
Bimbisara, idem.
Bandingkan No. 41.5.
samathasamadhi. VvA.84 menerangkan bahwa dia telah mencapai konsentrasi tentang (hal-hal) di-luar-duniawi karena telah menjadi amat tenang.
Tentang Sang Jalan, VvA.85.
Dari orang biasa, idem.
ekamsika, seperti halnya Tiga Permata, dll., idem.
Suatu hari, setelah seorang bhikkhu menikmati Dana Makanan untuk Delapan di rumah Sirima, dia pergi ke vihara yang berjarak tiga yojana. Petang harinya ketika dia sedang duduk di hadapan para Thera, mereka bertanya kepadanya, “Sahabat, dimanakah engkau memperoleh makanan sebelum kemari?” “Saya memperoleh Dana Makanan untuk Delapan dari Sirima.3 “Apakah Sirima mempersembahkan makanan yang telah dibuatnya untuk menerbitkan air liur?” “Saya tidak bisa menjelaskan makanannya. Dia memberikan makanan yang telah dibuatnya sangat lezat. Makanan yang diperoleh satu orang cukup untuk tiga atau empat orang. Tetapi penampilannya jauh lebih elok daripada dana yang diberikannya. Dia sungguh memiliki keelokan yang begini dan begitu….” Dan dia menjelaskan daya tariknya.
Salah satu bhikkhu mendengar penjelasan tentang daya tarik Sirima. Walaupun dia belum pernah melihat Sirima, hanya dengan mendengar saja bhikkhu itu sudah jatuh cinta. Dia berpikir di dalam hati, “Saya ingin pergi dan melihatnya.” Dia pun membicarakan tentang jumlah musim hujan4 (yang telah dia lewatkan), dan bertanya kepada para bhikkhu tentang urutannya5 di dalam Sangha. Dia diberitahu, “Besok, sahabat, karena engkau adalah Thera yang paling senior,6 engkau dapat menerima Dana Makanan untuk Delapan. Langsung dia mengambil mangkuk dan jubahnya, dan di fajar hari dia berangkat. Dia memasuki ruangan kupon, dan sebagai Thera tertua dia pun menerima Dana Makanan untuk Delapan di rumah Sirima.
Tetapi pada saat itu juga, setelah bhikkhu yang makan di hari sebelumnya pergi, tiba-tiba Sirima merasa tubuhnya menderita suatu penyakit. Dia melepaskan segala perhiasannya dan berbaring. Para pelayannya, karena melihat bahwa para bhikkhu telah dating untuk menerima Dana makanan untuk Delapan, memberitahu Sirima. Karena tidak dapat mengambil mangkuk-mangkuk dengan tangannya sendiri atau mengundang para bhikkhu untuk duduk, dia memberikan perintah kepada para pelayannya, “O, para pembantuku, ambillah mangkuk-mangkuk itu, persilahkan tuan-tuan yang terhormat itu untuk duduk, berilah mereka bubur untuk diminum, layanilah mereka dengan makanan keras.7 Dan jika tiba waktunya bagi makanan utama,8 isilah mangkuk-mangkuk mereka dan kembalikanlah kepada mereka.” Pelayan-pelayan itu melakukan apa yang diperintahkan. Kemudian Sirima berkata, “Bantulah aku bangkit dengan cara merangkul tubuhku, dan topanglah aku masuk. Aku akan menyapa tuan-tuan yang terhormat itu.” Dengan ditopang para pelayan, dia dibimbing ke hadapan para bhikkhu. Dia menyapa mereka dengan tubuh yang gemetar. Ketika bhikkhu (yang telah jatuh cinta dengannya) tersebut melihat Sirima, dia berpikir, “Walaupun sakit, perempuan ini memancarkan kecantikan. Bila dia sehat, lengkap dengan semua perhiasannya, seperti apa kecantikannya?” Kekotoran batin yang telah menumpuk selama ratusan ribu tahun menyerang bhikkhu itu. Pikirannya menjadi kacau, dan karena tidak dapat memakan nasinya, dia mengambil mangkuknya dan pergi ke vihara. Dia menutupi mangkuk itu, meletekannya di satu sisi, menebarkan jubahnya di satu sudut dan kemudian berbaring. Walaupun ada bhikkhu lain yang membujuknya, dia tidak mau makan. Maka dia tidak mengisi perutnya sama sekali. Di petang hari itu juga, Sirima meninggal. Raja mengirimkan pesan kepada Sang Guru, “Bhante, Sirima, adik bungsu Jivika, telah meninggal.” Ketika mendengar hal itu, Beliau mengirimkan pesan kepada raja, “Tubuh Sirima jangan dikremasi dulu. Taruhlah di tempat untuk mayat yang tidak akan dibakar, dan jagalah agar gagak dan sebagainya tidak memangsanya.” Raja melakukan hal itu. Tiga hari berlalu. Pada hari ke empat, tubuh Sirima membengkak. Dari sembilan lubang. Belatung keluar. Seluruh tubuh tampak seperti satu pot nasi yang hancur, Raja menyuruh untuk mengumumkan di seluruh kota , “Semua orang harus pergi melihat Sirima, kecuali anak-anak yang harus dilindungi di rumah. Yang tidak pergi akan di denda delapan kahapana.” Dan raja mengirimkan pesan kepada Sang Guru: “Biarlah Sangha dengan Sang Buddha sebagai pemimpinnya dating melihat Sirima.” Sang Buddha mengumumkan kepada para bhikkhu, “Kita akan pergi melihat Sirima.”
Pada waktu itu, si bhikkhu muda telah berbaring selama empat hari, tanpa memperdulikan apa yang dikatakan oleh orang-orang. Dia sama sekali tidak mau makan. Walaupun makanan di dalam mangkuknya telah menjadi busuk, dia tidak juga bangkit. Maka seorang bhikkhu pergi kepadanya dan berkata, “Sahabat, Sang Guru akan pergi melihat Sirima.” Pada saat mendengar kata “Sirima,”bhikkhu muda tersebut bangkit dengan cepat walaupun dikuasai oleh rasa lapar. “Sang Guru akan melihat Sirima, apakah engkau akan itut?” Tanya bhikkhu itu. “Saya akan pergi,” katanya. Dia membuang nasi bususk itu, mencuci mangkuknya dan pergi bersama Sangha. Sang Guru dengan dikelilingi Sangha berdiri di satu kelompok. Sangha bhikkhuni, keluarga raja, dan kelompok umat awam, masing-masing berdiri dikelompoknya sendiri-sendiri. Sang Guru bertanya kepada raja, “Raja yang agung, siapakah dia?” “Bhante, dia adalah saudara perempuan Jivaka, Sirima namanya.” “Apakah ini Sirima?” “Ya, Bhante.” “Kalau demikian, suruhlah mengumumkan di seluruh kota bahwa siapa pun boleh memiliki Sirima dengan membayarkan 1000 kahapana.” Raja menyuruh hal ini dilakukan. Tak ada seorang pun yang berkata “Ya” atau “Tidak untuk tawaran itu. Raja berkata kepada Sang Guru. “Bhante yang terhormat, taka ada seorang pun yang mau.” “Kalau demikian, raja agung, turunkanlah harga.”9 Raja menyuruh mengumumkan lagi, “Bayarlah 500 kahapana, ambillah Sirima.” Ketika raja melihat tidak ada yang mau, dia membuat pengumuman lagi, “Ambillah Sirima dengan membayar 250,” “Bayar 200,” “Bayar 100,” “Bayar 50,” “Bayar 25 kahapana,” “Bayar 10,” “Bayar 1,” “Bayar setengah,” “Bayar seperempat,” “Bayar satu masaka.”10 “Bayar satu Kakanika.”11 Akhirnya dia menyuruh mengumumkan, “Ambillah Sirima tanpa membayar.”
Bahkan tak seorang pun berkata “Ya” atau “tidak”. Raja berkata, “Bhante yang terhormat, tak ada seorang pin yang mau mengambil dia sekali pun tanpa membayar.” Sang Guru berkata, “Lihatlah, para bhikkhu, perempuan yang sangat dicintai oleh dunia ini. Di kota yang sama ini, dulu mereka memberi 1000 kahapana untuk satu hari bersama dia. Namun sekarang tak seorang pun mau mengambil dia sekalipun tanpa membayar. Demikianlah kecantikan, yang penuh dengan kekotoran dan kelapukan, yang dibuat menarik hanya oleh perhiasan yang dipasang, satu massa penyakit karena sembilan lubang yang membusuk, yang disatukan oleh tiga ratus tulang, yang senantiasa melapuk, daya tarik objek bagi banyak pemikiran karena dunia yang tolol banyak memikirkan tubuh itu, tubuh yang tiada-bertahan itu.”12 Dan untuk mengajarkan hal ini Beliau menulang syair:
“Lihatlah boneka yang dicat, suatu massa penyakit, sesuatu yang terpadu,
Melapuk, objek dari banyak pemikiran. Tanpa stabilitas yang kekal.13
Di akhir Ajaran, bhikkhu yang jatuh cinta kepada Sirima kehilangan nafsu kegilaannya; dia mengembangkan pandangan terang dan mencapai tingkat Arahat. Delapan puluh empat ribu manusia menembus Dhamma.Pada saat itu. Sirima, putri-dewa, telah merenungkan keberhasilan dan kesejahteraannya. Ketika merenungkan tempat asalnya, Sirima melihat Yang Terberkahi dikelilingi oleh Sangha para bhikkhu dan kelompok orang-orang yang semuanya berkumpul di samping tubuhnya yang telah menjadi mayat. Dikelilingi lima ratus putrid-dewa dengan lima ratus kereta, Sirima tiba dalam bentuknya yang dapat dilihat. Setelah turun dari kereta kencananya, bersama para pengikutnya nya dia memberi hormat kepada Yang Terberkahi, lalu berdiri dengan sikap penuh bakti. Pada saat itu, Y.M. Vangisa berdiri di dekat Yang Terberkahi. Dia berkata, “Yang Terberkahi, saya ingin bertanya.” “Silahkan, Vangisa, “ kata Tang Terberkahi. Y.M. Vangisa mengajukan pertanyaan berikut ini kepada Sirima, putrid-dewa itu :
1. “Kuda-kudamu yang dipasang, dihias dengan indah, turun melalui langit, kuat, cepat, dan lima ratus kereta kencana, yang diciptakan (oleh tindakan jasamu sendiri14), menemanimu, kuda-kuda itu disemangati oleh kusir-kusirnya.
2. Dengan berhias engkau berdiri di dalam kereta kencana yang agung, berkilau, dengan penampilan yang tanpa cacat, cemerlang, bagaikan api bintang yang bersinar. Saya bertanya kepadamu, sosok yang agung, berasal dari kelompok maklhuk manakah engkau dating menghampiri (Buddha) yang tiada – bandingnya.15
Ditanya demikian oleh Thera tersebut, devata itu menjelaskan tentang dirinya :
3. “Dari kelompok yang dikatakan merupakan (kelompok) tertinggi yang telah mencapai tingginya keinginan, (dimana) para devata selalu bergembira di dalam mencipta, dari kelompok makhluk itulah, sebagai peri yang bisa mengambil bentuk apa pun semaunya, saya telah datang ke sini untuk memberikan penghormatan kepada (Buddha) yang tiada bandingnya.”
Setelah dewi itu menjelaskan kemunculannya di antara para dewa yang bergembira di dalam mencipta, Thera tersebut ingin agar dia menceritakan tentang keadaan kehidupan sebelumnya, tindakan jasa yang telah dilakukannya, dan keyakinan religiusnya.
4. “Perbuatan baik apakah yang dahulu telah engkau lakukan di sini? Karena apakah maka engkau memiliki keagungan yang tak-terbatas, melimpah dalam kebahagiaan, dan memiliki kemampuan kesaktian yang tiada bandingnya untuk melintasi udara sementara keelokanmu bersinar menembus sepuluh penjuru?
5. Engkau dikelilingi dan dihormati oleh para dewa. Dari manakah engkau dulu meninggal, devata, sehingga kini engkau dating di dalam kelahiran yang baik? atau ajaran siapakah yang engkau patuhi? Beritahukanlah kepadaku jika engkau dulu adalah pengikut Sang Buddha.
Berbicara mengenai apa yang ditanyakan oleh Thera tersebut devata itu menyampaikan syair-syair ini :
6. “Dikota16 besar yang terencana dengan baik dan indah di sebuah gunung,17 sebagai pelayan seorang raja19 agung yang termasyur,18 saya terlatih baik dalam tarian dan nyanyian. Di Rajagaha mereka mengenalku sebagai Sirima.
7. Dan Sang Buddha, Yang Tertinggi dalam Melihat, Sang Pembimbing, mengajarku mengenai asal mula penderitaan, (yang) tidak kekal; yang tak terkondisi, berhentinya penderitaan, (yang) abadi, dan tentang Jalan ini, yang tidak bengkok, langsung, membawa keberuntungan.20
8. Ketika saya mendengar keadaan tanpa-kematian, yang tak terkondisi, Ajaran dari Thatagata yang tak-tertandingi,. Saya menjadi amat terkendali di dalam kebiasaan-kebiasaan moral (dan) mantap di dalam Dhamma yang diajarkan oleh Sang Buddha, manusia yang agung.
9. Setelah mengetahui kondisi, yang diajarkan oleh Tathagata yang tiada bandingnya, maka saya sendiri mencapai konsentrasi yang tenang.21 Sungguh jaminan22 tertinggi adalah milikku.
10.Setelah memperoleh keadaan tanpa-kematian yang membuatku berbeda,23 mantap,24 menonjol dalam penembusan, tanpa kebingungan, saya mengalami banyak penghiburan dan kenikmatan.
11. Demikianlah saya sekarang adalah devata yang melihat tanpa-kematian, siswa Tathagata yang tiada bandingnya makhluk yang melihat Dhamma. Yang mantap di dalam buah pertama, (yaitu buah) Pemasuk=Arus, dan tidak ada lagi kelahiran yang buruk (bagiku).
12. Dengan hormat terhadap raja yang masyur di bawah Dhamma, saya telah mendekat untuk menghormat para bhikkhu agung yang bergembira akan apa yang bajik, kelompok para petapa yang membawa keberuntungan.
13. Saya bersukacita di hati, amat gembira, ketika melihat petapa itu, Tathagata, manusia agung, kusir dari makhluk yang dapat dijinakkan, pemotongan keserakahan, bergembira di dalam apa yang bajik, sang pembimbing. Saya menghormati manusia yang amat penuh belas kasih, yang penuh kasih saying.”
emikianlah Sirima, putri-dewa itu, menyatakan secara formal keyakinan yang telah diterimanya, menyatakan keyakinannya di dalam Tiga Permata. Kemudian dia memberi hormat kepada Yang Terberkahi dan Sangha. Setelah melakukan upacara mengelilingi mereka, dia kembali ke alam-dewa itu. Sang Buddha menganggap bahwa turunnya dia (dari alam dewa) merupakan kesempatan untuk berkhotbah dan mengajarkan Dhamma. Di akhir khotbah, bhikkhu yang merindukan Sirima itu mencapai tingkat Arahat, dan khotbah itu bermanfaat juga bagi semua orang yang berkumpul di sana .
Catatan :
Lihat juga Dh.A.iii.104
Lihatlah Istana terakhir, persis sebelum syair-syair itu dimulai
Sirimaya menghilangkan Ee, lihat Be, Ce.
PED mengambil vassagga sebagai varsagara. Frasa vassaggam katheti mengacu pada pemberitahuan jumlah masa-penghujan (Vassa) yang telah dijalani oleh seorang Bhikkhu, karena senioritas di dalam Sangha dihitung dari banyaknya vassa yang telah dimilikinya.
thitikam mengacu pada senioritasnya di dalam Sangha.
sanghatthera mungkin memiliki pengertian bahwa Thera paling seniaor di dalam kelompoklah yang akan pergi makan di rumah Sirima keesokan harinya.
khajjaka, mungkin sirup gula yang dimakan dengan yagu sebagai (bagian dari) makanan pagi, patarasa.
bhatta, yang dimakan sebelum tengah hari.
Ce terbaca addhan untuk aggham, “potong ayan harganya menjadi separuh”.
Jumlah yang sangat kecil, lihat BD. I. 72, n. 1.
Kira-kira satu per delapan atau satu per sepuluh kahapana, setengah masaka, yang hampir tidak ada nilainya.
Perhatikan ‘di’ yang ditulis untuk ti.
Dh. 147, syair yang mendasari cerita Sirima di DhA.iii.104. Juga terdapat di M.ii.64,thag. 769.
Demikian VvA. 79.
anadhivra, demikian dijelaskan di VvA. 80. Bandingkan Ja. Iv. 233.
Rajagaha, yang juga disebut Giribbaja seperti dikatakan di VvA. 82.
Salah satu dari lima gunung yang mengelilingi Rajagaha, disebutkan satu persatu, idem.
Amat terkenal; dijelaskan idem, kebanyakan karena jasa kebajikannya yang besar.
Bimbisara, idem.
Bandingkan No. 41.5.
samathasamadhi. VvA.84 menerangkan bahwa dia telah mencapai konsentrasi tentang (hal-hal) di-luar-duniawi karena telah menjadi amat tenang.
Tentang Sang Jalan, VvA.85.
Dari orang biasa, idem.
ekamsika, seperti halnya Tiga Permata, dll., idem.
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com