Perilaku Culabodhi
Culabodhicariyam (Cp 2.4)
1. Dan demikian pula, ketika aku adalah Culabodhi, yang amat luhur dan memandang dumadi sebagai bahaya, aku berangkat menuju Keberangkatan.
2. Dia yang dulunya istriku, perempuan brahamana dengan kulit keemasan, tanpa pengharapan dalam lingkaran (kelahiran ulang), berangkat pula menuju Keberangkatan.
3. Tanpa kemelekatan, sanak-keluarga diputus, tanpa pengharapan dari keluarga atau pendamping, kami berjalan sepanjang desa dan kota-pasar, dan akhirnya tiba di Baranasi.
4. Di sana kami hidup dengan hati-hati, tidak bergaul dengan keluarga (atau) pendamping; kami berdua hidup di taman hiburan bangsawan, tidak terganggu, (di tempat dengan) sedikit suara.
5. Ketika raja pergi melihat taman itu, dia melihat perempuan brahmana itu. Sambil mendekatiku dia bertanya. "Apakah perempuan ini milikmu? Istri siapakah dia?"
6. Sesudah hai ini dikatakan, aku menyampaikan kata-kata ini kepadanya, "Dia bukan istriku, dia memiliki keyakinan yang sama, satu Ajaran".
7. Tergila-gila kepadanya, raja menyuruh orang-orang bayarannya menangkap perempuan itu; menyeretnya dengan paksa, dia membuat perempuan itu masuk ke apartemen bagian dalam istana.
8. Dia yang sudah menjadi milikku dengan menyentuh jamban-air, lahir bersama, dari satu Ajaran yang sama -- ketika orang itu menyeret dia dan dia dibawa pergi, kemarahan muncul padaku.
9. Ketika kemarahan muncul, aku mengingat kembali pelaksanaan sumpah moralitas, pada saat itu dan di sana pula aku menahan kemarahan(ku), Aku tidak membiarkannya meningkat lebih jauh.
10. Seandainya saja siapa pun menyerang perempuan brahmana itu dengan pisau yang tajam, demi Pencerahan-Diri itu sendiri aku tidak akan pernah melanggar moralitas.
11. Perempuan brahmana itu bukan tidak sesuai denganku, bahkan bukan pula aku tidak memiliki kekuatan. Kemahatahuan amat berharga bagiku, karena itulah aku menjaga moralitasku.
2. Dia yang dulunya istriku, perempuan brahamana dengan kulit keemasan, tanpa pengharapan dalam lingkaran (kelahiran ulang), berangkat pula menuju Keberangkatan.
3. Tanpa kemelekatan, sanak-keluarga diputus, tanpa pengharapan dari keluarga atau pendamping, kami berjalan sepanjang desa dan kota-pasar, dan akhirnya tiba di Baranasi.
4. Di sana kami hidup dengan hati-hati, tidak bergaul dengan keluarga (atau) pendamping; kami berdua hidup di taman hiburan bangsawan, tidak terganggu, (di tempat dengan) sedikit suara.
5. Ketika raja pergi melihat taman itu, dia melihat perempuan brahmana itu. Sambil mendekatiku dia bertanya. "Apakah perempuan ini milikmu? Istri siapakah dia?"
6. Sesudah hai ini dikatakan, aku menyampaikan kata-kata ini kepadanya, "Dia bukan istriku, dia memiliki keyakinan yang sama, satu Ajaran".
7. Tergila-gila kepadanya, raja menyuruh orang-orang bayarannya menangkap perempuan itu; menyeretnya dengan paksa, dia membuat perempuan itu masuk ke apartemen bagian dalam istana.
8. Dia yang sudah menjadi milikku dengan menyentuh jamban-air, lahir bersama, dari satu Ajaran yang sama -- ketika orang itu menyeret dia dan dia dibawa pergi, kemarahan muncul padaku.
9. Ketika kemarahan muncul, aku mengingat kembali pelaksanaan sumpah moralitas, pada saat itu dan di sana pula aku menahan kemarahan(ku), Aku tidak membiarkannya meningkat lebih jauh.
10. Seandainya saja siapa pun menyerang perempuan brahmana itu dengan pisau yang tajam, demi Pencerahan-Diri itu sendiri aku tidak akan pernah melanggar moralitas.
11. Perempuan brahmana itu bukan tidak sesuai denganku, bahkan bukan pula aku tidak memiliki kekuatan. Kemahatahuan amat berharga bagiku, karena itulah aku menjaga moralitasku.
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com