Khotbah Pendek kepada Saccaka
Cūḷasaccaka (MN 35)
Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Vesālī di Hutan Besar di Aula Beratap Lancip.
Pada saat itu Saccaka putra Nigaṇṭha sedang menetap Di Vesālī, seorang pendebat dan pembicara cerdas yang dianggap oleh banyak orang sebagai orang suci. Ia membuat pernyataan di hadapan kumpulan orang-orang Vesālī: “Aku tidak melihat ada petapa atau brahmana, pemimpin suatu aliran, pemimpin suatu kelompok, guru dari suatu kelompok, bahkan seorang yang mengaku telah sempurna dan tercerahkan sempurna, yang tidak terguncang, menggigil, dan gemetar, dan ketiaknya berkeringat jika ia terlibat dalam perdebatan denganku. Bahkan jika aku berdebat dengan tiang yang mati, tiang itu akan terguncang, menggigil, dan gemetar jika tiang terlibat dalam perdebatan denganku, apalagi manusia?”
Kemudian, pada pagi harinya, Yang Mulia Assaji merapikan jubah, dan dengan membawa mangkuk dan jubah luarnya, memasuki Vesālī untuk menerima dana makanan. Ketika Saccaka putra Nigaṇṭha sedang berjalan sambil berolah raga di Vesālī, dari jauh ia melihat kedatangan Yang Mulia Assaji dan mendatanginya dan saling bertukar sapa dengannya. Ketika ramah-tamah ini berakhir, Saccaka putra Nigaṇṭha berdiri di satu sisi dan berkata kepadanya:
“Guru Assaji, bagaimanakah Petapa Gotama mendisiplinkan para siswaNya? Dan bagaimanakah instruksi Petapa Gotama biasanya disampaikan kepada para siswaNya?”
“Beginilah Sang Bhagavā mendisiplinkan para siswaNya, Aggivessana, dan beginilah instruksi Sang Bhagavā biasanya disampaikan kepada para siswaNya: ‘Para bhikkhu, bentuk materi adalah tidak kekal, perasaan adalah tidak kekal, persepsi adalah tidak kekal, bentukan-bentukan adalah tidak kekal, kesadaran adalah tidak kekal. Para bhikkhu, bentuk materi adalah bukan-diri, perasaan adalah bukan-diri, persepsi adalah bukan-diri, bentukan-bentukan adalah bukan-diri, kesadaran adalah bukan-diri. Segala bentukan adalah tidak kekal; segala sesuatu adalah bukan-diri.’ Demikianlah Sang Bhagavā mendisiplinkan para siswaNya, dan demikianlah instruksi Sang Bhagavā biasanya disampaikan kepada para siswaNya.”
“Jika itu adalah apa yang Petapa Gotama tegaskan, kami sungguh telah mendengar apa yang tidak menyenangkan. Mungkin suatu saat kami dapat bertemu dengan Guru Gotama dan berdiskusi dengan Beliau. Mungkin kami dapat melepaskanNya dari pandangan sesat itu.”
Pada saat itu lima ratus Licchavi berkumpul di dalam sebuah aula pertemuan untuk suatu urusan. Kemudian Saccaka putra Nigaṇṭha mendatangi mereka dan berkata: “Marilah, para Licchavi yang baik, datanglah! Hari ini akan ada suatu perdebatan antara aku dan Petapa Gotama. Jika Petapa Gotama mempertahankan di depanku apa yang telah dipertahankan di depanku oleh salah satu siswa terkenalNya, bhikkhu bernama Assaji, maka bagaikan seorang kuat dapat mencengkeram seekor domba jantan berbulu lebat pada bulunya dan menariknya berputar, demikian pula dalam perdebatan itu aku akan menarik Petapa Gotama ke sana dan menarik Beliau ke sini dan menarikNya berputar. Bagaikan seorang pembuat minuman keras yang kuat dapat melemparkan sebuah saringan minuman besar ke dalam tangki air yang dalam, dan dengan memegang salah satu ujungnya, menariknya ke sana dan menariknya ke sini dan menariknya berputar, demikian pula dalam perdebatan itu aku akan menarik Petapa Gotama ke sana dan menarik Beliau ke sini dan menarikNya berputar. Bagaikan seorang pengaduk minuman keras yang kuat dapat memegang tepi saringan dan mengguncangnya ke bawah dan mengguncangnya ke atas dan membantingnya ke segala arah, demikian pula dalam perdebatan itu aku akan mengguncang Petapa Gotama ke atas dan mengguncang Beliau ke bawah dan membanting Beliau ke segala arah. Dan bagaikan seekor gajah berumur enam puluh tahun mencebur ke dalam kolam dan menikmati permainan mencuci rami, demikian pula aku akan menikmati permainan mencuci rami dengan Petapa Gotama. Marilah, para Licchavi yang baik, datanglah! Hari ini akan ada suatu perdebatan antara aku dan Petapa Gotama.”
Kemudian beberapa Licchavi berkata: “Siapakah Petapa Gotama sehingga Ia mampu membantah pernyataan Saccaka putra Nigaṇṭha? Sebaliknya, Saccaka putra Nigaṇṭha akan membantah pernyataan Petapa Gotama.” Dan beberapa Licchavi berkata: “Siapakah Saccaka putra Nigaṇṭha sehingga ia mampu membantah pernyataan Petapa Gotama? Sebaliknya, Petapa Gotama akan membantah pernyataan Saccaka putra Nigaṇṭha.” Kemudian Saccaka putra Nigaṇṭha pergi dengan lima ratus Licchavi menuju Aula Beratap Lancip.
Pada saat itu sejumlah bhikkhu sedang berjalan mondar-mandir di ruang terbuka. Kemudian Saccaka putra Nigaṇṭha mendatangi mereka dan bertanya: “Di manakah Guru Gotama menetap saat ini, tuan-tuan? Kami ingin bertemu dengan Guru Gotama.”
“Sang Bhagavā telah pergi ke Hutan Besar, Aggivessana, dan sedang duduk di bawah sebatang pohon untuk melewatkan hari.”
Kemudian Saccaka putra Nigaṇṭha, bersama dengan banyak pengikut dari Licchavi, memasuki Hutan Besar dan menjumpai Sang Bhagavā. Ia bertukar sapa dengan Sang Bhagavā, dan setelah ramah-tamah ini berakhir, ia duduk di satu sisi. Beberapa Licchavi bersujud kepada Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi; beberapa lainnya bertukar sapa dengan Beliau, dan ketika ramah-tamah ini berakhir, duduk di satu sisi; beberapa lainnya merangkapkan tangan sebagai penghormatan terhadap Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi; beberapa lainnya menyebutkan nama dan suku mereka di hadapan Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi; beberapa lainnya berdiam diri dan duduk di satu sisi.
Ketika Saccaka putra Nigaṇṭha telah duduk, ia berkata kepada Sang Bhagavā: “Aku ingin mengajukan pertanyaan kepada Guru Gotama mengenai hal tertentu, jika Guru Gotama berkenan menjawab pertanyaan ini.”
“Tanyakanlah apa yang engkau ingin tanyakan, Aggivessana.”
“Bagaimanakah Guru Gotama mendisiplinkan para siswaNya? Dan bagaimanakah instruksi Guru Gotama biasanya disampaikan kepada para siswaNya?”
“Beginilah Aku mendisiplinkan para siswaKu, Aggivessana, dan beginilah instruksiKu biasanya disampaikan kepada para siswaKu: ‘Para bhikkhu, bentuk materi adalah tidak kekal, perasaan adalah tidak kekal, persepsi adalah tidak kekal, bentukan-bentukan adalah tidak kekal, kesadaran adalah tidak kekal. Para bhikkhu, bentuk materi adalah bukan-diri, perasaan adalah bukan-diri, persepsi adalah bukan-diri, bentukan-bentukan adalah bukan-diri, kesadaran adalah bukan-diri. Segala bentukan adalah tidak kekal; segala sesuatu adalah bukan-diri; demikianlah Aku mendisiplinkan para siswaKu, dan demikianlah instruksiKu biasanya disampaikan kepada para siswaKu.”
“Sebuah perumpamaan muncul padaku, Guru Gotama.”
“Jelaskanlah, Aggivessana,” Sang Bhagavā berkata.
“Seperti halnya ketika benih dan tanaman, apapun jenisnya, tumbuh, berkembang, dan matang, semuanya terjadi dengan bergantung pada tanah, berlandaskan pada tanah; dan seperti halnya pekerjaan keras, apapun jenisnya, yang dilakukan, semua dilakukan dengan bergantung pada tanah, berlandaskan pada tanah—demikian pula, Guru Gotama, seseorang memiliki bentuk materi sebagai diri, dan berlandaskan pada bentuk materi itu ia menghasilkan kebajikan atau kejahatan. Seseorang memiliki perasaan sebagai diri, dan berlandaskan pada perasaan ia menghasilkan kebajikan atau kejahatan. Seseorang memiliki persepsi sebagai diri, dan berlandaskan pada persepsi ia menghasilkan kebajikan atau kejahatan. Seseorang memiliki bentukan-bentukan sebagai diri, dan berlandaskan pada bentukan-bentukan ia menghasilkan kebajikan atau kejahatan. Seseorang memiliki kesadaran sebagai diri, dan berlandaskan pada kesadaran ia menghasilkan kebajikan atau kejahatan.”
“Aggivessana, apakah engkau mengatakan bahwa: ‘Bentuk materi adalah diriku, perasaan adalah diriku, persepsi adalah diriku, bentukan-bentukan adalah diriku, kesadaran adalah diriku.’”
“Aku mengatakan demikian, Guru Gotama: ‘Bentuk materi adalah diriku, perasaan adalah diriku, persepsi adalah diriku, bentukan-bentukan adalah diriku, kesadaran adalah diriku.’ Dan demikian pula dengan banyak orang ini.”
“Apakah hubungannya banyak orang ini denganmu, Aggivessana? Mohon batasi pernyataanmu hanya pada dirimu sendiri.”
“Kalau begitu, Guru Gotama, aku mengatakan: ‘Bentuk materi adalah diriku, perasaan adalah diriku, persepsi adalah diriku, bentukan-bentukan adalah diriku, kesadaran adalah diriku.’”
“Maka, Aggivessana, aku akan mengajukan pertanyaan kepadamu sebagai jawaban. Jawablah dengan apa yang menurutmu benar. Bagaimana menurutmu, Aggivessana? Apakah seorang raja agung yang sah—misalnya, Raja Pasenadi dari Kosala atau Raja Ajātasattu Vedehiputta dari Magadha—akan menjalankan kekuasaannya untuk mengeksekusi mereka yang harus dieksekusi, menghukum mereka yang harus dihukum, dan mengusir mereka yang harus diusir?”
“Guru Gotama, seorang raja agung yang sah—misalnya, Raja Pasenadi dari Kosala atau Raja Ajātasattu Vedehiputta dari Magadha—akan menjalankan kekuasaannya untuk mengeksekusi mereka yang harus dieksekusi, menghukum mereka yang harus dihukum, dan mengusir mereka yang harus diusir. Karena bahkan komunitas dan masyarakat oligarki seperti para Vajji ini dan para Malla menjalankan menjalankan kekuasaannya di wilayah mereka untuk mengeksekusi mereka yang harus dieksekusi, menghukum mereka yang harus dihukum, dan mengusir mereka yang harus diusir; apalagi raja mulia yang sah seperti Raja Pasenadi dari Kosala atau Raja Ajātasattu Vedehiputta dari Magadha. Ia akan menjalankannya, Guru Gotama, dan ia selayaknya menjalankannya.”
“Bagaimana menurutmu, Aggivessana? Ketika engkau mengatakan: ‘Bentuk materi adalah diriku,’ apakah engkau menjalankan kekuasaan apapun atas bentuk materi itu sehingga dapat mengatakan: ‘Biarlah bentukku seperti demikian; biarlah bentukku tidak seperti demikian’?” Ketika hal ini dikatakan, Saccaka putra Nigaṇṭha berdiam diri.
Untuk ke dua kalinya Sang Bhagavā mengajukan pertanyaan yang sama, dan untuk ke dua kalinya Saccaka putra Nigaṇṭha berdiam diri. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepadanya:
“Aggivessana, jawablah sekarang. Sekarang bukan waktunya untuk berdiam diri. Jika siapapun, ketika ditanya dengan pertanyaan yang sewajarnya oleh Sang Tathāgata untuk ke tiga kalinya, masih tidak menjawab, maka kepalanya akan pecah menjadi tujuh keping pada saat itu dan di tempat itu juga.”
Pada saat itu sesosok makhluk bersenjatakan halilintar memegang sebuah halilintar besi yang terbakar, menyala dan berpijar, muncul di udara di atas Saccaka putra Nigaṇṭha, dengan berpikir: “Jika Saccaka putra Nigaṇṭha ini, ketika ditanya dengan pertanyaan yang sewajarnya oleh Sang Bhagavā sampai tiga kali, masih tidak menjawab, maka aku akan memecahkan kepalanya menjadi tujuh keping di sini dan saat ini.” Sang Bhagavā melihat makhluk bersenjatakan halilintar itu dan demikian pula dengan Saccaka putra Nigaṇṭha. Kemudian Saccaka putra Nigaṇṭha ketakutan, gelisah, dan ngeri. Untuk mencari naungan, suaka, dan perlindungan dari Sang Bhagavā, ia berkata: “Tanyakanlah padaku, Guru Gotama, aku akan menjawab.”
“Bagaimana menurutmu, Aggivessana? Ketika engkau mengatakan: ‘Bentuk materi adalah diriku,’ apakah engkau menjalankan kekuasaan apapun atas bentuk materi itu sehingga dapat mengatakan: ‘Biarlah bentukku seperti demikian; biarlah bentukku tidak seperti demikian’?”—“Tidak, Guru Gotama.”
“Berhati-hatilah, Aggivessana, berhati-hatilah bagaimana engkau menjawab! Apa yang engkau katakan sebelumnya tidak selaras dengan apa yang engkau katakan belakangan, juga apa yang engkau katakan belakangan tidak selaras dengan apa yang engkau katakan sebelumnya. Bagaimana menurutmu, Aggivessana? Ketika engkau mengatakan: ‘Perasaan adalah diriku,’ apakah engkau menjalankan kekuasaan apapun atas perasaan itu sehingga dapat mengatakan: ‘Biarlah perasaanku seperti demikian; biarlah perasaanku tidak seperti demikian’?”—“Tidak, Guru Gotama.”
“Berhati-hatilah, Aggivessana, berhati-hatilah bagaimana engkau menjawab! Apa yang engkau katakan sebelumnya tidak selaras dengan apa yang engkau katakan belakangan, juga apa yang engkau katakan belakangan tidak selaras dengan apa yang engkau katakan sebelumnya. Bagaimana menurutmu, Aggivessana? Ketika engkau mengatakan: ‘Persepsi adalah diriku,’ apakah engkau menjalankan kekuasaan apapun atas persepsi itu sehingga dapat mengatakan: ‘Biarlah persepsiku seperti demikian; biarlah persepsiku tidak seperti demikian’?”—“Tidak, Guru Gotama.”
“Berhati-hatilah, Aggivessana, berhati-hatilah bagaimana engkau menjawab! Apa yang engkau katakan sebelumnya tidak selaras dengan apa yang engkau katakan belakangan, juga apa yang engkau katakan belakangan tidak selaras dengan apa yang engkau katakan sebelumnya. Bagaimana menurutmu, Aggivessana? Ketika engkau mengatakan: ‘Bentukan-bentukan adalah diriku,’ apakah engkau menjalankan kekuasaan apapun atas bentukan-bentukan itu sehingga dapat mengatakan: ‘Biarlah bentukan-bentukanku seperti demikian; biarlah bentukan-bentukanku tidak seperti demikian’?”—“Tidak, Guru Gotama.”
“Berhati-hatilah, Aggivessana, berhati-hatilah bagaimana engkau menjawab! Apa yang engkau katakan sebelumnya tidak selaras dengan apa yang engkau katakan belakangan, juga apa yang engkau katakan belakangan tidak selaras dengan apa yang engkau katakan sebelumnya. Bagaimana menurutmu, Aggivessana? Ketika engkau mengatakan: ‘Kesadaran adalah diriku,’ apakah engkau menjalankan kekuasaan apapun atas kesadaran itu sehingga dapat mengatakan: ‘Biarlah kesadaranku seperti demikian; biarlah kesadaranku tidak seperti demikian’?”—“Tidak, Guru Gotama.”
“Berhati-hatilah, Aggivessana, berhati-hatilah bagaimana engkau menjawab! Apa yang engkau katakan sebelumnya tidak selaras dengan apa yang engkau katakan belakangan, juga apa yang engkau katakan belakangan tidak selaras dengan apa yang engkau katakan sebelumnya. Bagaimana menurutmu, Aggivessana, apakah bentuk materi adalah kekal atau tidak kekal?”—“Tidak kekal, Guru Gotama.”—“Apakah yang tidak kekal adalah penderitaan atau kebahagiaan?”—“Penderitaan, Guru Gotama.”—“Apakah yang merupakan penderitaan, dan tunduk pada perubahan layak dianggap: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku’?”—“Tidak, Guru Gotama.”
“Bagaimana menurutmu, Aggivessana? Apakah perasaan kekal atau tidak kekal? … Apakah persepsi kekal atau tidak kekal? … Apakah bentukan-bentukan kekal atau tidak kekal? … Apakah kesadaran kekal atau tidak kekal?”—“Tidak kekal, Guru Gotama.”—“Apakah yang tidak kekal adalah penderitaan atau kebahagiaan?”—“Penderitaan, Guru Gotama.”—“Apakah yang merupakan penderitaan, dan tunduk pada perubahan layak dianggap: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku’?”—“Tidak, Guru Gotama.”
“Bagaimana menurutmu, Aggivessana? Ketika seseorang terikat pada penderitaan, mendatangi penderitaan, menggenggam penderitaan, dan menganggap penderitaan sebagai: ‘ini milikku, ini aku, ini diriku.’ Dapatkah ia sepenuhnya memahami penderitaan oleh dirinya sendiri atau berdiam dengan penderitaan yang dihancurkan secara total?”
“Bagaimana mungkin, Guru Gotama? Tidak, Guru Gotama.”
*“Bagaimana menurutmu, Aggivessana? Kalau begitu, apakah engkau tidak terikat pada penderitaan, mendatangi penderitaan, menggenggam penderitaan, dan menganggap penderitaan sebagai: ‘ini milikku, ini aku, ini diriku.’
“Bagaimana aku tidak, Guru Gotama? Benar, Guru Gotama.”*
“Ini seperti seseorang yang memerlukan inti kayu, mencari inti kayu, berkeliling mencari inti kayu, membawa kapak tajam dan memasuki hutan, dan di sana ia melihat sebatang pohon pisang besar, lurus, muda, tanpa tandan buah. Kemudian ia menebangnya pada akarnya, memotong pucuknya, dan mengelupas pelepah daunnya; tetapi ketika ia terus mengelupasi pelepah daunnya, ia tidak menemukan bahkan kayu lunaknya, apalagi inti kayu. Demikian pula, Aggivessana, ketika engkau ditekan, ditanya, dan didebat olehKu mengenai pernyataanmu sendiri, engkau terbukti, kosong, hampa, dan keliru. Tetapi adalah engkau yang membuat pernyataan ini di depan para penduduk Vesālī: ‘Aku tidak melihat ada petapa atau brahmana, pemimpin suatu aliran, pemimpin suatu kelompok, guru dari suatu kelompok, bahkan seorang yang mengaku telah sempurna dan tercerahkan sempurna, yang tidak terguncang, menggigil, dan gemetar, dan ketiaknya berkeringat jika ia terlibat dalam perdebatan denganku. Bahkan jika aku berdebat dengan tiang yang mati, tiang itu akan terguncang, menggigil, dan gemetar jika tiang terlibat dalam perdebatan denganku, apalagi manusia?’ Sekarang ada butiran keringat di keningmu dan keringat itu telah membasahi jubah atasmu dan menetes ke tanah. Tetapi tidak ada keringat pada tubuhKu saat ini.” Dan Sang Bhagavā membuka tubuhnya yang berwarna keemasan di depan kelompok itu. Ketika hal ini dikatakan, Saccaka putra Nigaṇṭha duduk diam, dengan bahu terkulai dan kepala tertunduk, muram, dan tanpa reaksi.
Kemudian Dummukha, putra Licchavi, melihat Saccaka putra Nigaṇṭha dalam keadaan demikian, berkata kepada Sang Bhagavā: “Sebuah perumpamaan muncul padaku, Guru Gotama.”
“Jelaskanlah, Dummukha.”
“Misalkan, Yang Mulia, tidak jauh dari sebuah desa atau pemukiman terdapat sebuah kolam dengan seekor kepiting di dalamnya. Dan kemudian sekelompok anak-anak laki-laki dan perempuan pergi dari pemukiman atau desa itu menuju kolam tersebut, masuk ke air, dan menarik kepiting itu keluar dari air dan meletakkannya di atas tanah kering. Dan ketika kepiting itu menjulurkan kakinya, mereka memotongnya, mematahkannya, dan memukulnya dengan tongkat dan batu, sehingga kepiting itu dengan semua kakinya putus, patah, dan hancur, tidak mampu kembali ke kolam seperti sebelumnya. Demikian pula, semua dalih, geliat, dan kebimbangan Saccaka putra Nigaṇṭha telah diputuskan, dipatahkan, dan dihancurkan oleh Sang Bhagavā, dan sekarang ia tidak mampu berada di dekat Sang Bhagavā lagi untuk berdebat.”
Ketika hal ini dikatakan, Saccaka putra Nigaṇṭha berkata kepadanya: “Tunggu, Dummukha, tunggu! Kami tidak berbicara denganmu, di sini kami sedang berbicara dengan Guru Gotama.”
Kemudian ia berkata: “Biarlah pembicaraan kita, Guru Gotama. Seperti halnya para petapa dan brahmana biasa. Hanya sekadar obrolan santai, aku pikir. Tetapi dengan cara bagaimanakah seorang siswa Petapa Gotama menjadi seorang yang melaksanakan instruksi Beliau, yang menanggapi nasihat Beliau, yang telah melampaui keragu-raguan, menjadi bebas dari kebingungan, memperoleh keberanian, dan menjadi tidak bergantung pada orang lain dalam Pengajaran Sang Guru?”
“Di sini, Aggivessana, segala jenis bentuk materi apapun, apakah di masa lampau, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat—seorang siswaKu melihat segala bentuk materi sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Segala jenis perasaan apapun … Segala jenis persepsi apapun … Segala jenis bentukan-bentukan apapun … Segala jenis kesadaran apapun, apakah di masa lampau, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat—seorang siswaKu melihat segala kesadaran sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Dengan cara inilah seorang siswaKu menjadi seorang yang melaksanakan instruksiKu, yang menanggapi nasihatKu, yang telah melampaui keragu-raguan, menjadi bebas dari kebingungan, memperoleh keberanian, dan menjadi tidak bergantung pada orang lain dalam Pengajaran Sang Guru.”
“Guru Gotama, Bagaimanakah seorang bhikkhu menjadi seorang Arahant dengan noda-noda dihancurkan, seorang yang telah menjalani kehidupan suci, telah melakukan apa yang harus dilakukan, telah menurunkan beban, telah mencapai tujuan sejati, telah menghancurkan belenggu-belenggu penjelmaan, dan sepenuhnya terbebaskan melalui pengetahuan akhir?”
“Di sini, Aggivessana, segala jenis bentuk materi apapun, apakah di masa lampau, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat—seorang bhikkhu telah melihat segala bentuk materi sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Dan melalui ketidak-melekatan ia terbebaskan. Segala jenis perasaan apapun … Segala jenis persepsi apapun … Segala jenis bentukan-bentukan apapun … Segala jenis kesadaran apapun, apakah di masa lampau, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat—seorang bhikkhu telah melihat segala kesadaran sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Dan melalui ketidak-melekatan ia terbebaskan. Dengan cara inilah seorang bhikkhu menjadi seorang Arahant dengan noda-noda dihancurkan, seorang yang telah menjalani kehidupan suci, telah melakukan apa yang harus dilakukan, telah menurunkan beban, telah mencapai tujuan sejati, telah menghancurkan belenggu-belenggu penjelmaan, dan sepenuhnya terbebaskan melalui pengetahuan akhir.
“Ketika pikiran seorang bhikkhu terbebaskan demikian, ia memiliki tiga kualitas yang tidak terlampaui: penglihatan yang tidak terlampaui, praktik sang jalan yang tidak terlampaui, dan kebebasan yang tidak terlampaui. Ketika seorang bhikkhu terbebaskan demikian, ia masih menghormati, menghargai, dan memuliakan Sang Tathāgata sebagai berikut: ‘Sang Bhagavā telah tercerahkan dan Beliau mengajarkan Dhamma untuk mencapai pencerahan. Sang Bhagavā telah jinak dan Beliau mengajarkan Dhamma untuk menjinakkan diri sendiri. Sang Bhagavā dalam kondisi damai dan Beliau mengajarkan Dhamma demi kedamaian. Sang Bhagavā telah menyeberang dan Beliau mengajarkan Dhamma untuk menyeberang. Sang Bhagavā telah mencapai Nibbāna dan Beliau mengajarkan Dhamma untuk mencapai Nibbāna.’”
Ketika hal ini dikatakan, Saccaka putra Nigaṇṭha menjawab: “Guru Gotama, kami sungguh berani dan lancang berpikir bahwa kami dapat menyerang Guru Gotama dalam perdebatan. Seseorang dapat menyerang seekor gajah gila dan selamat, namun ia tidak dapat menyerang Guru Gotama dan selamat. Seseorang dapat menyerang kobaran api yang menyala-nyala dan selamat, namun ia tidak dapat menyerang Guru Gotama dan selamat. Seseorang dapat menyerang seekor ular berbisa yang mengerikan dan selamat, namun ia tidak dapat menyerang Guru Gotama dan selamat. kami sungguh berani dan lancang berpikir bahwa kami dapat menyerang Guru Gotama dalam perdebatan.
“Sudilah Sang Bhagavā bersama dengan Sangha para bhikkhu menyetujui untuk menerima persembahan makanan dariku besok.” Sang Bhagavā menerima dengan berdiam diri.
Kemudian, mengetahui bahwa Sang Bhagavā telah menyetujui, Saccaka putra Nigaṇṭha berkata kepada para Licchavi: “Dengarkan aku, para Licchavi. Petapa Gotama bersama dengan Sangha para bhikkhu telah menerima undanganku untuk makan besok. Kalian boleh membawa kepadaku apapun yang kalian anggap layak untuk Beliau.”
Kemudian, ketika malam berakhir, para Licchavi membawa lima ratus hidangan upacara berupa nasi susu sebagai persembahan makanan. Kemudian Saccaka putra Nigaṇṭha mempersiapkan makanan-makanan baik berbagai jenis di tamannya sendiri dan pada waktunya mengumumkan kepada Sang Bhagavā: “Sudah waktunya, Guru Gotama, makanan telah siap.”
Kemudian, pada pagi harinya, Sang Bhagavā merapikan jubahNya, dan dengan membawa mangkuk dan jubah luarNya, Beliau pergi bersama Sangha para bhikkhu menuju taman Saccaka putra Nigaṇṭha dan duduk di tempat yang telah disediakan. Kemudian, dengan tangannya sendiri, Saccaka putra Nigaṇṭha melayani dan memuaskan Sangha para bhikkhu yang dipimpin oleh Sang Bhagavā dengan berbagai jenis makanan baik. Ketika Sang Bhagavā telah selesai makan dan telah menggeser mangkukNya ke samping, Saccaka putra Nigaṇṭha mengambil tempat duduk yang rendah, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Sang Bhagavā: “Guru Gotama, semoga jasa dan buah kebajikan dari persembahan ini adalah demi kebahagiaan si pemberi.”
“Aggivessana, apapun yang dihasilkan dari tindakan memberi kepada penerima seperti engkau—seorang yang belum terbebas dari nafsu, belum terbebas dari kebencian, belum terbebas dari delusi—itu adalah untuk si pemberi. Dan apapun yang dihasilkan dari tindakan memberi kepada penerima seperti Aku—seorang yang telah terbebas dari nafsu, terbebas dari kebencian, terbebas dari delusi—itu adalah untuk engkau.”
Pada saat itu Saccaka putra Nigaṇṭha sedang menetap Di Vesālī, seorang pendebat dan pembicara cerdas yang dianggap oleh banyak orang sebagai orang suci. Ia membuat pernyataan di hadapan kumpulan orang-orang Vesālī: “Aku tidak melihat ada petapa atau brahmana, pemimpin suatu aliran, pemimpin suatu kelompok, guru dari suatu kelompok, bahkan seorang yang mengaku telah sempurna dan tercerahkan sempurna, yang tidak terguncang, menggigil, dan gemetar, dan ketiaknya berkeringat jika ia terlibat dalam perdebatan denganku. Bahkan jika aku berdebat dengan tiang yang mati, tiang itu akan terguncang, menggigil, dan gemetar jika tiang terlibat dalam perdebatan denganku, apalagi manusia?”
Kemudian, pada pagi harinya, Yang Mulia Assaji merapikan jubah, dan dengan membawa mangkuk dan jubah luarnya, memasuki Vesālī untuk menerima dana makanan. Ketika Saccaka putra Nigaṇṭha sedang berjalan sambil berolah raga di Vesālī, dari jauh ia melihat kedatangan Yang Mulia Assaji dan mendatanginya dan saling bertukar sapa dengannya. Ketika ramah-tamah ini berakhir, Saccaka putra Nigaṇṭha berdiri di satu sisi dan berkata kepadanya:
“Guru Assaji, bagaimanakah Petapa Gotama mendisiplinkan para siswaNya? Dan bagaimanakah instruksi Petapa Gotama biasanya disampaikan kepada para siswaNya?”
“Beginilah Sang Bhagavā mendisiplinkan para siswaNya, Aggivessana, dan beginilah instruksi Sang Bhagavā biasanya disampaikan kepada para siswaNya: ‘Para bhikkhu, bentuk materi adalah tidak kekal, perasaan adalah tidak kekal, persepsi adalah tidak kekal, bentukan-bentukan adalah tidak kekal, kesadaran adalah tidak kekal. Para bhikkhu, bentuk materi adalah bukan-diri, perasaan adalah bukan-diri, persepsi adalah bukan-diri, bentukan-bentukan adalah bukan-diri, kesadaran adalah bukan-diri. Segala bentukan adalah tidak kekal; segala sesuatu adalah bukan-diri.’ Demikianlah Sang Bhagavā mendisiplinkan para siswaNya, dan demikianlah instruksi Sang Bhagavā biasanya disampaikan kepada para siswaNya.”
“Jika itu adalah apa yang Petapa Gotama tegaskan, kami sungguh telah mendengar apa yang tidak menyenangkan. Mungkin suatu saat kami dapat bertemu dengan Guru Gotama dan berdiskusi dengan Beliau. Mungkin kami dapat melepaskanNya dari pandangan sesat itu.”
Pada saat itu lima ratus Licchavi berkumpul di dalam sebuah aula pertemuan untuk suatu urusan. Kemudian Saccaka putra Nigaṇṭha mendatangi mereka dan berkata: “Marilah, para Licchavi yang baik, datanglah! Hari ini akan ada suatu perdebatan antara aku dan Petapa Gotama. Jika Petapa Gotama mempertahankan di depanku apa yang telah dipertahankan di depanku oleh salah satu siswa terkenalNya, bhikkhu bernama Assaji, maka bagaikan seorang kuat dapat mencengkeram seekor domba jantan berbulu lebat pada bulunya dan menariknya berputar, demikian pula dalam perdebatan itu aku akan menarik Petapa Gotama ke sana dan menarik Beliau ke sini dan menarikNya berputar. Bagaikan seorang pembuat minuman keras yang kuat dapat melemparkan sebuah saringan minuman besar ke dalam tangki air yang dalam, dan dengan memegang salah satu ujungnya, menariknya ke sana dan menariknya ke sini dan menariknya berputar, demikian pula dalam perdebatan itu aku akan menarik Petapa Gotama ke sana dan menarik Beliau ke sini dan menarikNya berputar. Bagaikan seorang pengaduk minuman keras yang kuat dapat memegang tepi saringan dan mengguncangnya ke bawah dan mengguncangnya ke atas dan membantingnya ke segala arah, demikian pula dalam perdebatan itu aku akan mengguncang Petapa Gotama ke atas dan mengguncang Beliau ke bawah dan membanting Beliau ke segala arah. Dan bagaikan seekor gajah berumur enam puluh tahun mencebur ke dalam kolam dan menikmati permainan mencuci rami, demikian pula aku akan menikmati permainan mencuci rami dengan Petapa Gotama. Marilah, para Licchavi yang baik, datanglah! Hari ini akan ada suatu perdebatan antara aku dan Petapa Gotama.”
Kemudian beberapa Licchavi berkata: “Siapakah Petapa Gotama sehingga Ia mampu membantah pernyataan Saccaka putra Nigaṇṭha? Sebaliknya, Saccaka putra Nigaṇṭha akan membantah pernyataan Petapa Gotama.” Dan beberapa Licchavi berkata: “Siapakah Saccaka putra Nigaṇṭha sehingga ia mampu membantah pernyataan Petapa Gotama? Sebaliknya, Petapa Gotama akan membantah pernyataan Saccaka putra Nigaṇṭha.” Kemudian Saccaka putra Nigaṇṭha pergi dengan lima ratus Licchavi menuju Aula Beratap Lancip.
Pada saat itu sejumlah bhikkhu sedang berjalan mondar-mandir di ruang terbuka. Kemudian Saccaka putra Nigaṇṭha mendatangi mereka dan bertanya: “Di manakah Guru Gotama menetap saat ini, tuan-tuan? Kami ingin bertemu dengan Guru Gotama.”
“Sang Bhagavā telah pergi ke Hutan Besar, Aggivessana, dan sedang duduk di bawah sebatang pohon untuk melewatkan hari.”
Kemudian Saccaka putra Nigaṇṭha, bersama dengan banyak pengikut dari Licchavi, memasuki Hutan Besar dan menjumpai Sang Bhagavā. Ia bertukar sapa dengan Sang Bhagavā, dan setelah ramah-tamah ini berakhir, ia duduk di satu sisi. Beberapa Licchavi bersujud kepada Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi; beberapa lainnya bertukar sapa dengan Beliau, dan ketika ramah-tamah ini berakhir, duduk di satu sisi; beberapa lainnya merangkapkan tangan sebagai penghormatan terhadap Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi; beberapa lainnya menyebutkan nama dan suku mereka di hadapan Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi; beberapa lainnya berdiam diri dan duduk di satu sisi.
Ketika Saccaka putra Nigaṇṭha telah duduk, ia berkata kepada Sang Bhagavā: “Aku ingin mengajukan pertanyaan kepada Guru Gotama mengenai hal tertentu, jika Guru Gotama berkenan menjawab pertanyaan ini.”
“Tanyakanlah apa yang engkau ingin tanyakan, Aggivessana.”
“Bagaimanakah Guru Gotama mendisiplinkan para siswaNya? Dan bagaimanakah instruksi Guru Gotama biasanya disampaikan kepada para siswaNya?”
“Beginilah Aku mendisiplinkan para siswaKu, Aggivessana, dan beginilah instruksiKu biasanya disampaikan kepada para siswaKu: ‘Para bhikkhu, bentuk materi adalah tidak kekal, perasaan adalah tidak kekal, persepsi adalah tidak kekal, bentukan-bentukan adalah tidak kekal, kesadaran adalah tidak kekal. Para bhikkhu, bentuk materi adalah bukan-diri, perasaan adalah bukan-diri, persepsi adalah bukan-diri, bentukan-bentukan adalah bukan-diri, kesadaran adalah bukan-diri. Segala bentukan adalah tidak kekal; segala sesuatu adalah bukan-diri; demikianlah Aku mendisiplinkan para siswaKu, dan demikianlah instruksiKu biasanya disampaikan kepada para siswaKu.”
“Sebuah perumpamaan muncul padaku, Guru Gotama.”
“Jelaskanlah, Aggivessana,” Sang Bhagavā berkata.
“Seperti halnya ketika benih dan tanaman, apapun jenisnya, tumbuh, berkembang, dan matang, semuanya terjadi dengan bergantung pada tanah, berlandaskan pada tanah; dan seperti halnya pekerjaan keras, apapun jenisnya, yang dilakukan, semua dilakukan dengan bergantung pada tanah, berlandaskan pada tanah—demikian pula, Guru Gotama, seseorang memiliki bentuk materi sebagai diri, dan berlandaskan pada bentuk materi itu ia menghasilkan kebajikan atau kejahatan. Seseorang memiliki perasaan sebagai diri, dan berlandaskan pada perasaan ia menghasilkan kebajikan atau kejahatan. Seseorang memiliki persepsi sebagai diri, dan berlandaskan pada persepsi ia menghasilkan kebajikan atau kejahatan. Seseorang memiliki bentukan-bentukan sebagai diri, dan berlandaskan pada bentukan-bentukan ia menghasilkan kebajikan atau kejahatan. Seseorang memiliki kesadaran sebagai diri, dan berlandaskan pada kesadaran ia menghasilkan kebajikan atau kejahatan.”
“Aggivessana, apakah engkau mengatakan bahwa: ‘Bentuk materi adalah diriku, perasaan adalah diriku, persepsi adalah diriku, bentukan-bentukan adalah diriku, kesadaran adalah diriku.’”
“Aku mengatakan demikian, Guru Gotama: ‘Bentuk materi adalah diriku, perasaan adalah diriku, persepsi adalah diriku, bentukan-bentukan adalah diriku, kesadaran adalah diriku.’ Dan demikian pula dengan banyak orang ini.”
“Apakah hubungannya banyak orang ini denganmu, Aggivessana? Mohon batasi pernyataanmu hanya pada dirimu sendiri.”
“Kalau begitu, Guru Gotama, aku mengatakan: ‘Bentuk materi adalah diriku, perasaan adalah diriku, persepsi adalah diriku, bentukan-bentukan adalah diriku, kesadaran adalah diriku.’”
“Maka, Aggivessana, aku akan mengajukan pertanyaan kepadamu sebagai jawaban. Jawablah dengan apa yang menurutmu benar. Bagaimana menurutmu, Aggivessana? Apakah seorang raja agung yang sah—misalnya, Raja Pasenadi dari Kosala atau Raja Ajātasattu Vedehiputta dari Magadha—akan menjalankan kekuasaannya untuk mengeksekusi mereka yang harus dieksekusi, menghukum mereka yang harus dihukum, dan mengusir mereka yang harus diusir?”
“Guru Gotama, seorang raja agung yang sah—misalnya, Raja Pasenadi dari Kosala atau Raja Ajātasattu Vedehiputta dari Magadha—akan menjalankan kekuasaannya untuk mengeksekusi mereka yang harus dieksekusi, menghukum mereka yang harus dihukum, dan mengusir mereka yang harus diusir. Karena bahkan komunitas dan masyarakat oligarki seperti para Vajji ini dan para Malla menjalankan menjalankan kekuasaannya di wilayah mereka untuk mengeksekusi mereka yang harus dieksekusi, menghukum mereka yang harus dihukum, dan mengusir mereka yang harus diusir; apalagi raja mulia yang sah seperti Raja Pasenadi dari Kosala atau Raja Ajātasattu Vedehiputta dari Magadha. Ia akan menjalankannya, Guru Gotama, dan ia selayaknya menjalankannya.”
“Bagaimana menurutmu, Aggivessana? Ketika engkau mengatakan: ‘Bentuk materi adalah diriku,’ apakah engkau menjalankan kekuasaan apapun atas bentuk materi itu sehingga dapat mengatakan: ‘Biarlah bentukku seperti demikian; biarlah bentukku tidak seperti demikian’?” Ketika hal ini dikatakan, Saccaka putra Nigaṇṭha berdiam diri.
Untuk ke dua kalinya Sang Bhagavā mengajukan pertanyaan yang sama, dan untuk ke dua kalinya Saccaka putra Nigaṇṭha berdiam diri. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepadanya:
“Aggivessana, jawablah sekarang. Sekarang bukan waktunya untuk berdiam diri. Jika siapapun, ketika ditanya dengan pertanyaan yang sewajarnya oleh Sang Tathāgata untuk ke tiga kalinya, masih tidak menjawab, maka kepalanya akan pecah menjadi tujuh keping pada saat itu dan di tempat itu juga.”
Pada saat itu sesosok makhluk bersenjatakan halilintar memegang sebuah halilintar besi yang terbakar, menyala dan berpijar, muncul di udara di atas Saccaka putra Nigaṇṭha, dengan berpikir: “Jika Saccaka putra Nigaṇṭha ini, ketika ditanya dengan pertanyaan yang sewajarnya oleh Sang Bhagavā sampai tiga kali, masih tidak menjawab, maka aku akan memecahkan kepalanya menjadi tujuh keping di sini dan saat ini.” Sang Bhagavā melihat makhluk bersenjatakan halilintar itu dan demikian pula dengan Saccaka putra Nigaṇṭha. Kemudian Saccaka putra Nigaṇṭha ketakutan, gelisah, dan ngeri. Untuk mencari naungan, suaka, dan perlindungan dari Sang Bhagavā, ia berkata: “Tanyakanlah padaku, Guru Gotama, aku akan menjawab.”
“Bagaimana menurutmu, Aggivessana? Ketika engkau mengatakan: ‘Bentuk materi adalah diriku,’ apakah engkau menjalankan kekuasaan apapun atas bentuk materi itu sehingga dapat mengatakan: ‘Biarlah bentukku seperti demikian; biarlah bentukku tidak seperti demikian’?”—“Tidak, Guru Gotama.”
“Berhati-hatilah, Aggivessana, berhati-hatilah bagaimana engkau menjawab! Apa yang engkau katakan sebelumnya tidak selaras dengan apa yang engkau katakan belakangan, juga apa yang engkau katakan belakangan tidak selaras dengan apa yang engkau katakan sebelumnya. Bagaimana menurutmu, Aggivessana? Ketika engkau mengatakan: ‘Perasaan adalah diriku,’ apakah engkau menjalankan kekuasaan apapun atas perasaan itu sehingga dapat mengatakan: ‘Biarlah perasaanku seperti demikian; biarlah perasaanku tidak seperti demikian’?”—“Tidak, Guru Gotama.”
“Berhati-hatilah, Aggivessana, berhati-hatilah bagaimana engkau menjawab! Apa yang engkau katakan sebelumnya tidak selaras dengan apa yang engkau katakan belakangan, juga apa yang engkau katakan belakangan tidak selaras dengan apa yang engkau katakan sebelumnya. Bagaimana menurutmu, Aggivessana? Ketika engkau mengatakan: ‘Persepsi adalah diriku,’ apakah engkau menjalankan kekuasaan apapun atas persepsi itu sehingga dapat mengatakan: ‘Biarlah persepsiku seperti demikian; biarlah persepsiku tidak seperti demikian’?”—“Tidak, Guru Gotama.”
“Berhati-hatilah, Aggivessana, berhati-hatilah bagaimana engkau menjawab! Apa yang engkau katakan sebelumnya tidak selaras dengan apa yang engkau katakan belakangan, juga apa yang engkau katakan belakangan tidak selaras dengan apa yang engkau katakan sebelumnya. Bagaimana menurutmu, Aggivessana? Ketika engkau mengatakan: ‘Bentukan-bentukan adalah diriku,’ apakah engkau menjalankan kekuasaan apapun atas bentukan-bentukan itu sehingga dapat mengatakan: ‘Biarlah bentukan-bentukanku seperti demikian; biarlah bentukan-bentukanku tidak seperti demikian’?”—“Tidak, Guru Gotama.”
“Berhati-hatilah, Aggivessana, berhati-hatilah bagaimana engkau menjawab! Apa yang engkau katakan sebelumnya tidak selaras dengan apa yang engkau katakan belakangan, juga apa yang engkau katakan belakangan tidak selaras dengan apa yang engkau katakan sebelumnya. Bagaimana menurutmu, Aggivessana? Ketika engkau mengatakan: ‘Kesadaran adalah diriku,’ apakah engkau menjalankan kekuasaan apapun atas kesadaran itu sehingga dapat mengatakan: ‘Biarlah kesadaranku seperti demikian; biarlah kesadaranku tidak seperti demikian’?”—“Tidak, Guru Gotama.”
“Berhati-hatilah, Aggivessana, berhati-hatilah bagaimana engkau menjawab! Apa yang engkau katakan sebelumnya tidak selaras dengan apa yang engkau katakan belakangan, juga apa yang engkau katakan belakangan tidak selaras dengan apa yang engkau katakan sebelumnya. Bagaimana menurutmu, Aggivessana, apakah bentuk materi adalah kekal atau tidak kekal?”—“Tidak kekal, Guru Gotama.”—“Apakah yang tidak kekal adalah penderitaan atau kebahagiaan?”—“Penderitaan, Guru Gotama.”—“Apakah yang merupakan penderitaan, dan tunduk pada perubahan layak dianggap: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku’?”—“Tidak, Guru Gotama.”
“Bagaimana menurutmu, Aggivessana? Apakah perasaan kekal atau tidak kekal? … Apakah persepsi kekal atau tidak kekal? … Apakah bentukan-bentukan kekal atau tidak kekal? … Apakah kesadaran kekal atau tidak kekal?”—“Tidak kekal, Guru Gotama.”—“Apakah yang tidak kekal adalah penderitaan atau kebahagiaan?”—“Penderitaan, Guru Gotama.”—“Apakah yang merupakan penderitaan, dan tunduk pada perubahan layak dianggap: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku’?”—“Tidak, Guru Gotama.”
“Bagaimana menurutmu, Aggivessana? Ketika seseorang terikat pada penderitaan, mendatangi penderitaan, menggenggam penderitaan, dan menganggap penderitaan sebagai: ‘ini milikku, ini aku, ini diriku.’ Dapatkah ia sepenuhnya memahami penderitaan oleh dirinya sendiri atau berdiam dengan penderitaan yang dihancurkan secara total?”
“Bagaimana mungkin, Guru Gotama? Tidak, Guru Gotama.”
*“Bagaimana menurutmu, Aggivessana? Kalau begitu, apakah engkau tidak terikat pada penderitaan, mendatangi penderitaan, menggenggam penderitaan, dan menganggap penderitaan sebagai: ‘ini milikku, ini aku, ini diriku.’
“Bagaimana aku tidak, Guru Gotama? Benar, Guru Gotama.”*
“Ini seperti seseorang yang memerlukan inti kayu, mencari inti kayu, berkeliling mencari inti kayu, membawa kapak tajam dan memasuki hutan, dan di sana ia melihat sebatang pohon pisang besar, lurus, muda, tanpa tandan buah. Kemudian ia menebangnya pada akarnya, memotong pucuknya, dan mengelupas pelepah daunnya; tetapi ketika ia terus mengelupasi pelepah daunnya, ia tidak menemukan bahkan kayu lunaknya, apalagi inti kayu. Demikian pula, Aggivessana, ketika engkau ditekan, ditanya, dan didebat olehKu mengenai pernyataanmu sendiri, engkau terbukti, kosong, hampa, dan keliru. Tetapi adalah engkau yang membuat pernyataan ini di depan para penduduk Vesālī: ‘Aku tidak melihat ada petapa atau brahmana, pemimpin suatu aliran, pemimpin suatu kelompok, guru dari suatu kelompok, bahkan seorang yang mengaku telah sempurna dan tercerahkan sempurna, yang tidak terguncang, menggigil, dan gemetar, dan ketiaknya berkeringat jika ia terlibat dalam perdebatan denganku. Bahkan jika aku berdebat dengan tiang yang mati, tiang itu akan terguncang, menggigil, dan gemetar jika tiang terlibat dalam perdebatan denganku, apalagi manusia?’ Sekarang ada butiran keringat di keningmu dan keringat itu telah membasahi jubah atasmu dan menetes ke tanah. Tetapi tidak ada keringat pada tubuhKu saat ini.” Dan Sang Bhagavā membuka tubuhnya yang berwarna keemasan di depan kelompok itu. Ketika hal ini dikatakan, Saccaka putra Nigaṇṭha duduk diam, dengan bahu terkulai dan kepala tertunduk, muram, dan tanpa reaksi.
Kemudian Dummukha, putra Licchavi, melihat Saccaka putra Nigaṇṭha dalam keadaan demikian, berkata kepada Sang Bhagavā: “Sebuah perumpamaan muncul padaku, Guru Gotama.”
“Jelaskanlah, Dummukha.”
“Misalkan, Yang Mulia, tidak jauh dari sebuah desa atau pemukiman terdapat sebuah kolam dengan seekor kepiting di dalamnya. Dan kemudian sekelompok anak-anak laki-laki dan perempuan pergi dari pemukiman atau desa itu menuju kolam tersebut, masuk ke air, dan menarik kepiting itu keluar dari air dan meletakkannya di atas tanah kering. Dan ketika kepiting itu menjulurkan kakinya, mereka memotongnya, mematahkannya, dan memukulnya dengan tongkat dan batu, sehingga kepiting itu dengan semua kakinya putus, patah, dan hancur, tidak mampu kembali ke kolam seperti sebelumnya. Demikian pula, semua dalih, geliat, dan kebimbangan Saccaka putra Nigaṇṭha telah diputuskan, dipatahkan, dan dihancurkan oleh Sang Bhagavā, dan sekarang ia tidak mampu berada di dekat Sang Bhagavā lagi untuk berdebat.”
Ketika hal ini dikatakan, Saccaka putra Nigaṇṭha berkata kepadanya: “Tunggu, Dummukha, tunggu! Kami tidak berbicara denganmu, di sini kami sedang berbicara dengan Guru Gotama.”
Kemudian ia berkata: “Biarlah pembicaraan kita, Guru Gotama. Seperti halnya para petapa dan brahmana biasa. Hanya sekadar obrolan santai, aku pikir. Tetapi dengan cara bagaimanakah seorang siswa Petapa Gotama menjadi seorang yang melaksanakan instruksi Beliau, yang menanggapi nasihat Beliau, yang telah melampaui keragu-raguan, menjadi bebas dari kebingungan, memperoleh keberanian, dan menjadi tidak bergantung pada orang lain dalam Pengajaran Sang Guru?”
“Di sini, Aggivessana, segala jenis bentuk materi apapun, apakah di masa lampau, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat—seorang siswaKu melihat segala bentuk materi sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Segala jenis perasaan apapun … Segala jenis persepsi apapun … Segala jenis bentukan-bentukan apapun … Segala jenis kesadaran apapun, apakah di masa lampau, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat—seorang siswaKu melihat segala kesadaran sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Dengan cara inilah seorang siswaKu menjadi seorang yang melaksanakan instruksiKu, yang menanggapi nasihatKu, yang telah melampaui keragu-raguan, menjadi bebas dari kebingungan, memperoleh keberanian, dan menjadi tidak bergantung pada orang lain dalam Pengajaran Sang Guru.”
“Guru Gotama, Bagaimanakah seorang bhikkhu menjadi seorang Arahant dengan noda-noda dihancurkan, seorang yang telah menjalani kehidupan suci, telah melakukan apa yang harus dilakukan, telah menurunkan beban, telah mencapai tujuan sejati, telah menghancurkan belenggu-belenggu penjelmaan, dan sepenuhnya terbebaskan melalui pengetahuan akhir?”
“Di sini, Aggivessana, segala jenis bentuk materi apapun, apakah di masa lampau, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat—seorang bhikkhu telah melihat segala bentuk materi sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Dan melalui ketidak-melekatan ia terbebaskan. Segala jenis perasaan apapun … Segala jenis persepsi apapun … Segala jenis bentukan-bentukan apapun … Segala jenis kesadaran apapun, apakah di masa lampau, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat—seorang bhikkhu telah melihat segala kesadaran sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Dan melalui ketidak-melekatan ia terbebaskan. Dengan cara inilah seorang bhikkhu menjadi seorang Arahant dengan noda-noda dihancurkan, seorang yang telah menjalani kehidupan suci, telah melakukan apa yang harus dilakukan, telah menurunkan beban, telah mencapai tujuan sejati, telah menghancurkan belenggu-belenggu penjelmaan, dan sepenuhnya terbebaskan melalui pengetahuan akhir.
“Ketika pikiran seorang bhikkhu terbebaskan demikian, ia memiliki tiga kualitas yang tidak terlampaui: penglihatan yang tidak terlampaui, praktik sang jalan yang tidak terlampaui, dan kebebasan yang tidak terlampaui. Ketika seorang bhikkhu terbebaskan demikian, ia masih menghormati, menghargai, dan memuliakan Sang Tathāgata sebagai berikut: ‘Sang Bhagavā telah tercerahkan dan Beliau mengajarkan Dhamma untuk mencapai pencerahan. Sang Bhagavā telah jinak dan Beliau mengajarkan Dhamma untuk menjinakkan diri sendiri. Sang Bhagavā dalam kondisi damai dan Beliau mengajarkan Dhamma demi kedamaian. Sang Bhagavā telah menyeberang dan Beliau mengajarkan Dhamma untuk menyeberang. Sang Bhagavā telah mencapai Nibbāna dan Beliau mengajarkan Dhamma untuk mencapai Nibbāna.’”
Ketika hal ini dikatakan, Saccaka putra Nigaṇṭha menjawab: “Guru Gotama, kami sungguh berani dan lancang berpikir bahwa kami dapat menyerang Guru Gotama dalam perdebatan. Seseorang dapat menyerang seekor gajah gila dan selamat, namun ia tidak dapat menyerang Guru Gotama dan selamat. Seseorang dapat menyerang kobaran api yang menyala-nyala dan selamat, namun ia tidak dapat menyerang Guru Gotama dan selamat. Seseorang dapat menyerang seekor ular berbisa yang mengerikan dan selamat, namun ia tidak dapat menyerang Guru Gotama dan selamat. kami sungguh berani dan lancang berpikir bahwa kami dapat menyerang Guru Gotama dalam perdebatan.
“Sudilah Sang Bhagavā bersama dengan Sangha para bhikkhu menyetujui untuk menerima persembahan makanan dariku besok.” Sang Bhagavā menerima dengan berdiam diri.
Kemudian, mengetahui bahwa Sang Bhagavā telah menyetujui, Saccaka putra Nigaṇṭha berkata kepada para Licchavi: “Dengarkan aku, para Licchavi. Petapa Gotama bersama dengan Sangha para bhikkhu telah menerima undanganku untuk makan besok. Kalian boleh membawa kepadaku apapun yang kalian anggap layak untuk Beliau.”
Kemudian, ketika malam berakhir, para Licchavi membawa lima ratus hidangan upacara berupa nasi susu sebagai persembahan makanan. Kemudian Saccaka putra Nigaṇṭha mempersiapkan makanan-makanan baik berbagai jenis di tamannya sendiri dan pada waktunya mengumumkan kepada Sang Bhagavā: “Sudah waktunya, Guru Gotama, makanan telah siap.”
Kemudian, pada pagi harinya, Sang Bhagavā merapikan jubahNya, dan dengan membawa mangkuk dan jubah luarNya, Beliau pergi bersama Sangha para bhikkhu menuju taman Saccaka putra Nigaṇṭha dan duduk di tempat yang telah disediakan. Kemudian, dengan tangannya sendiri, Saccaka putra Nigaṇṭha melayani dan memuaskan Sangha para bhikkhu yang dipimpin oleh Sang Bhagavā dengan berbagai jenis makanan baik. Ketika Sang Bhagavā telah selesai makan dan telah menggeser mangkukNya ke samping, Saccaka putra Nigaṇṭha mengambil tempat duduk yang rendah, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Sang Bhagavā: “Guru Gotama, semoga jasa dan buah kebajikan dari persembahan ini adalah demi kebahagiaan si pemberi.”
“Aggivessana, apapun yang dihasilkan dari tindakan memberi kepada penerima seperti engkau—seorang yang belum terbebas dari nafsu, belum terbebas dari kebencian, belum terbebas dari delusi—itu adalah untuk si pemberi. Dan apapun yang dihasilkan dari tindakan memberi kepada penerima seperti Aku—seorang yang telah terbebas dari nafsu, terbebas dari kebencian, terbebas dari delusi—itu adalah untuk engkau.”
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com