Yamaka
Yamaka (SN 22.85)
Pada suatu ketika Yang Mulia Sāriputta sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Pada saat itu pandangan sesat berikut ini muncul dalam diri seorang bhikkhu bernama Yamaka: “Seperti yang kupahami sehubungan dengan Dhamma yang diajarkan oleh Sang Bhagavā, seorang bhikkhu yang noda-nodanya telah dihancurkan akan musnah dan lenyap dengan hancurnya jasmani dan tidak ada lagi setelah kematian.”
Sejumlah bhikkhu mendengar bahwa pandangan sesat demikian telah muncul dalam diri Bhikkhu Yamaka. Kemudian mereka mendatangi Yang Mulia Yamaka dan saling bertukar sapa dengannya, setelah itu mereka duduk di satu sisi dan berkata kepadanya: “Benarkah, Sahabat Yamaka, bahwa suatu pandangan sesat telah muncul dalam dirimu: ‘Seperti yang kupahami sehubungan dengan Dhamma yang diajarkan oleh Sang Bhagavā, seorang bhikkhu yang noda-nodanya telah dihancurkan akan musnah dan lenyap dengan hancurnya jasmani dan tidak ada lagi setelah kematian’?”
“Benar, sahabat-sahabat. Seperti yang kupahami sehubungan dengan Dhamma yang diajarkan oleh Sang Bhagavā, seorang bhikkhu yang noda-nodanya telah dihancurkan akan musnah dan lenyap dengan hancurnya jasmani dan tidak ada lagi setelah kematian.”
“Sahabat Yamaka, jangan berkata seperti itu. Jangan keliru menafsirkan Sang Bhagavā. Tidaklah baik secara keliru menafsirkan Sang Bhagavā. Sang Bhagavā tidak mengatakan bahwa: ‘Seorang bhikkhu yang noda-nodanya telah dihancurkan akan musnah dan lenyap dengan hancurnya jasmani dan tidak ada lagi setelah kematian.’”
Namun, walaupun ia dinasihati oleh para bhikkhu seperti itu, Yang Mulia Yamaka masih keras kepala menganut pandangan sesat itu, melekat pada pandangan itu, dan menyatakan: “Seperti yang kupahami sehubungan dengan Dhamma yang diajarkan oleh Sang Bhagavā, seorang bhikkhu yang noda-nodanya telah dihancurkan akan musnah dan lenyap dengan hancurnya jasmani dan tidak ada lagi setelah kematian.”
Karena para bhikkhu itu tidak mampu melepaskan Yang Mulia Yamaka dari pandangan sesat itu, mereka bangkit dari duduknya, mendekati Yang Mulia Sāriputta, dan memberitahukan semua yang terjadi, dan menambahkan: “Sudilah Yang Mulia Sāriputta mendatangi Bhikkhu Yamaka demi belas kasih kepadanya.” Yang Mulia Sāriputta menyetujui dengan berdiam diri.
Kemudian, pada malam harinya, Yang Mulia Sāriputta keluar dari keheningannya, ia mendekati Yang Mulia Yamaka dan saling bertukar sapa dengannya, setelah itu ia duduk di satu sisi dan berkata kepadanya: “Benarkah, sahabat Yamaka, bahwa suatu pandangan sesat telah muncul dalam dirimu: ‘Seperti yang kupahami sehubungan dengan Dhamma yang diajarkan oleh Sang Bhagavā, seorang bhikkhu yang noda-nodanya telah dihancurkan akan musnah dan lenyap dengan hancurnya jasmani dan tidak ada lagi setelah kematian’?”
“Benar, sahabat.”
“Bagaimana menurutmu, sahabat Yamaka, apakah bentuk adalah kekal atau tidak kekal?”—“Tidak kekal, sahabat.”—“Oleh karena itu … Melihat demikian … Ia memahami: ‘… tidak ada lagi penjelmaan dalam kondisi makhluk apa pun.’
“Bagaimana menurutmu, sahabat Yamaka, apakah engkau menganggap bentuk sebagai Sang Tathāgata?”—“Tidak, sahabat.”—“Apakah engkau menganggap perasaan … persepsi … bentukan-bentukan kehendak … kesadaran sebagai Sang Tathāgata?”—“Tidak, sahabat.”
“Bagaimana menurutmu, sahabat Yamaka, apakah engkau menganggap Sang Tathāgata sebagai di dalam bentuk?”—“Tidak, sahabat.”—“Apakah engkau menganggap Sang Tathāgata terpisah dari bentuk?”—“Tidak, sahabat.” “Apakah engkau menganggap Sang Tathāgata sebagai di dalam perasaan? Terpisah dari perasaan? Sebagai di dalam persepsi? Terpisah dari persepsi? Sebagai di dalam bentukan-bentukan kehendak? Terpisah dari bentukan-bentukan kehendak? Sebagai di dalam kesadaran? Terpisah dari kesadaran?”—“Tidak, sahabat.”
“Bagaimana menurutmu, sahabat Yamaka, apakah engkau menganggap bentuk, perasaan, persepsi, bentukan-bentukan kehendak, dan kesadaran [secara keseluruhan] sebagai Sang Tathāgata?”—“Tidak, sahabat.”
“Bagaimana menurutmu, sahabat Yamaka, apakah engkau menganggap Sang Tathāgata sebagai seorang yang tanpa bentuk, tanpa perasaan, tanpa persepsi, tanpa bentukan-bentukan kehendak, tanpa kesadaran?”—“Tidak, sahabat.”
“Tetapi, sahabat, jika Sang Tathāgata tidak engkau pahami sebagai nyata dan sebenar-benarnya di sini dalam kehidupan ini, pantaskah engkau menyatakan: ‘Seperti yang kupahami sehubungan dengan Dhamma yang diajarkan oleh Sang Bhagavā, seorang bhikkhu yang noda-nodanya telah dihancurkan akan musnah dan lenyap dengan hancurnya jasmani dan tidak ada lagi setelah kematian’?”
“Sebelumnya, sahabat Sāriputta, ketika aku masih bodoh, aku memang menganut pandangan sesat, tetapi sekarang setelah aku mendengarkan Ajaran Dhamma ini dari Yang Mulia Sāriputta aku telah melepaskan pandangan sesat itu dan telah menembus Dhamma.”
“Jika, sahabat Yamaka, mereka bertanya kepadamu: ‘Sahabat Yamaka, ketika seorang bhikkhu telah menjadi seorang Arahant, seorang yang noda-nodanya telah dihancurkan, apakah yang terjadi padanya saat hancurnya jasmani, setelah kematian?’—ditanya demikian, apakah jawabanmu?”
“Jika mereka bertanya kepadaku seperti itu, sahabat, aku akan menjawab: ‘Sahabat, bentuk adalah tidak kekal; apa yang tidak kekal adalah penderitaan; apa yang merupakan penderitaan telah lenyap dan berlalu. Perasaan … Persepsi … Bentukan-bentukan kehendak … Kesadaran adalah tidak kekal; apa yang tidak kekal adalah penderitaan; apa yang merupakan penderitaan telah lenyap dan berlalu.’ Ditanya demikian, sahabat, aku akan menjawab seperti itu.”
“Bagus, bagus, sahabat Yamaka! Sekarang, sahabat Yamaka, aku akan memberikan perumpamaan kepadamu untuk menyampaikan makna yang sama dengan lebih jelas lagi. Misalkan, sahabat Yamaka, ada seorang perumah tangga atau putra perumah tangga, seorang kaya, dengan harta kekayaan berlimpah, dijaga oleh seorang pengawal. Kemudian seseorang ingin menghancurkannya, mencelakainya, membahayakannya, membunuhnya. Orang itu akan berpikir: ‘Perumah tangga atau putra perumah tangga ini adalah seorang kaya, dengan harta kekayaan berlimpah, dijaga oleh seorang pengawal. Tidaklah mudah untuk membunuhnya. Biarlah aku mendekatinya dan kemudian membunuhnya.’
“Kemudian ia akan mendatangi perumah tangga atau putra perumah tangga itu dan berkata kepadanya: ‘Aku akan bekerja untukmu, tuan.’ Kemudian perumah tangga atau putra perumah tangga itu mengangkatnya menjadi pelayannya. Orang itu akan melayaninya, bangun tidur sebelum orang itu, pergi tidur setelah orang itu, melakukan apa pun yang ia inginkan, perbuatannya menyenangkan, kata-katanya menyenangkan. Perumah tangga atau putra perumah tangga itu menganggapnya sebagai seorang teman, teman akrab, dan ia mempercayainya. Tetapi ketika orang itu menyadari bahwa perumah tangga atau putra perumah tangga itu telah mempercayainya, kemudian, ketika ia sendirian, ia membunuhnya dengan pisau tajam.
“Bagaimana menurutmu, sahabat Yamaka, ketika orang itu mendatangi perumah tangga atau putra perumah tangga itu dan berkata kepadanya: ‘Aku akan bekerja untukmu, tuan,’ bukankah ia adalah seorang pembunuh bahkan walaupun yang lain tidak mengenalinya sebagai ‘pembunuhku’? Dan ketika orang itu melayaninya, bangun tidur sebelum orang itu, pergi tidur setelah orang itu, melakukan apa pun yang ia inginkan, perbuatannya menyenangkan, kata-katanya menyenangkan, bukankah ia adalah seorang pembunuh, walaupun yang lain tidak mengenalinya sebagai ‘pembunuhku’? Dan ketika orang itu mendatanginya ketika ia sedang sendirian dan membunuhnya dengan pisau tajam, bukankah ia adalah seorang pembunuh, walaupun yang lain tidak mengenalinya sebagai ‘pembunuhku’?”
“Benar, sahabat.”
“Demikian pula, sahabat Yamaka, kaum duniawi yang tidak terpelajar, yang bukan salah satu di antara para mulia dan tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka, yang bukan salah satu di antara orang-orang superior dan tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka, menganggap bentuk sebagai diri, atau diri sebagai memiliki bentuk, atau bentuk sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam bentuk.
“Ia menganggap perasaan sebagai diri … persepsi sebagai diri … bentukan-bentukan kehendak sebagai diri … kesadaran sebagai diri, atau diri sebagai memiliki kesadaran, atau kesadaran sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam kesadaran.
“Ia tidak memahami sebagaimana adanya bentuk yang tidak kekal sebagai ‘bentuk yang tidak kekal’ … perasaan yang tidak kekal sebagai ‘perasaan yang tidak kekal’ … persepsi yang tidak kekal sebagai ‘persepsi yang tidak kekal’ … bentukan-bentukan kehendak yang tidak kekal sebagai ‘bentukan-bentukan kehendak yang tidak kekal’ … kesadaran yang tidak kekal sebagai ‘kesadaran yang tidak kekal.’
“Ia tidak memahami sebagaimana adanya bentuk yang menyakitkan sebagai ‘bentuk yang menyakitkan’ … perasaan yang menyakitkan sebagai ‘perasaan yang menyakitkan’ … persepsi yang menyakitkan sebagai ‘persepsi yang menyakitkan’ … bentukan-bentukan kehendak yang menyakitkan sebagai ‘bentukan-bentukan kehendak yang menyakitkan’ … kesadaran yang menyakitkan sebagai ‘kesadaran yang menyakitkan.’
“Ia tidak memahami sebagaimana adanya bentuk yang tanpa-diri sebagai ‘bentuk yang tanpa-diri’
… perasaan yang tanpa-diri sebagai ‘perasaan yang tanpa-diri’ … persepsi yang tanpa-diri sebagai ‘persepsi yang tanpa-diri’ … bentukan-bentukan kehendak yang tanpa-diri sebagai ‘bentukan-bentukan kehendak yang tanpa-diri’ … kesadaran yang tanpa-diri sebagai ‘kesadaran yang tanpa-diri.’
“Ia tidak memahami sebagaimana adanya bentuk yang terkondisi sebagai ‘bentuk yang terkondisi’
… perasaan yang terkondisi sebagai ‘perasaan yang terkondisi’ … persepsi yang terkondisi sebagai ‘persepsi yang terkondisi’ … bentukan-bentukan kehendak yang terkondisi sebagai ‘bentukan-bentukan kehendak yang terkondisi’ … kesadaran yang terkondisi sebagai ‘kesadaran yang terkondisi.’
“Ia tidak memahami sebagaimana adanya bentuk yang bersifat membunuh sebagai ‘bentuk yang bersifat membunuh’ … perasaan yang bersifat membunuh sebagai ‘perasaan yang bersifat membunuh’ … persepsi yang bersifat membunuh sebagai ‘persepsi yang bersifat membunuh’ … bentukan-bentukan kehendak yang bersifat membunuh sebagai ‘bentukan-bentukan kehendak yang bersifat membunuh’ … kesadaran yang bersifat membunuh sebagai ‘kesadaran yang bersifat membunuh.’
“Ia menjadi terlibat dengan bentuk, melekat padanya, dan menganggapnya sebagai ‘diriku’. Ia menjadi terlibat dengan perasaan … dengan persepsi … dengan bentukan-bentukan kehendak … dengan kesadaran, melekat padanya, dan menganggapnya sebagai ‘diriku’. Lima kelompok unsur kemelekatan yang sama ini, yang padanya ia menjadi terlibat dan yang padanya ia melekat, membawanya menuju bahaya dan penderitaan dalam waktu yang lama.
“Tetapi, sahabat, siswa mulia yang terpelajar, yang merupakan salah satu dari para mulia … tidak menganggap bentuk sebagai diri, atau diri sebagai memiliki bentuk, atau bentuk sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam bentuk.
“Ia tidak menganggap perasaan sebagai diri … persepsi sebagai diri … bentukan-bentukan kehendak sebagai diri … kesadaran sebagai diri, atau diri sebagai memiliki kesadaran, atau kesadaran sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam kesadaran.
“Ia memahami sebagaimana adanya bentuk yang tidak kekal sebagai ‘bentuk yang tidak kekal’ … kesadaran yang tidak kekal sebagai ‘kesadaran yang tidak kekal.’
“Ia memahami sebagaimana adanya bentuk yang menyakitkan sebagai ‘bentuk yang menyakitkan’ … kesadaran yang menyakitkan sebagai ‘kesadaran yang menyakitkan.’
“Ia memahami sebagaimana adanya bentuk yang tanpa-diri sebagai ‘bentuk yang tanpa-diri’ … kesadaran yang tanpa-diri sebagai ‘kesadaran yang tanpa-diri.’
“Ia memahami sebagaimana adanya bentuk yang terkondisi sebagai ‘bentuk yang terkondisi’
… kesadaran yang terkondisi sebagai ‘kesadaran yang terkondisi.’
“Ia memahami sebagaimana adanya bentuk yang bersifat membunuh sebagai ‘bentuk yang bersifat membunuh’ … kesadaran yang bersifat membunuh sebagai ‘kesadaran yang bersifat membunuh.’
“Ia tidak menjadi terlibat dengan bentuk, tidak melekat padanya, dan tidak menganggapnya sebagai ‘diriku’. Ia tidak menjadi terlibat dengan perasaan … dengan persepsi … dengan bentukan-bentukan kehendak … dengan kesadaran, tidak melekat padanya, dan tidak menganggapnya sebagai ‘diriku’. Lima kelompok unsur kemelekatan yang sama ini, yang padanya ia tidak menjadi terlibat dan yang padanya ia tidak melekat, membawanya menuju kesejahteraan dan kebahagiaan dalam waktu yang lama.”
“Demikianlah, sahabat Sāriputta, bagi para mulia yang memiliki belas kasih dan merupakan saudara yang penuh cinta kasih dalam kehidupan suci ini untuk mengingatkan dan mengajarkan mereka. Dan sekarang aku telah mendengarkan ajaran Dhamma ini dari Yang Mulia Sāriputta, batinku terbebas dari noda-noda melalui ketidak-melekatan.”
Ini adalah apa yang dikatakan oleh Yang Mulia Sāriputta. Yang Mulia Yamaka senang dan gembira mendengar kata-kata Yang Mulia Sāriputta.
Sejumlah bhikkhu mendengar bahwa pandangan sesat demikian telah muncul dalam diri Bhikkhu Yamaka. Kemudian mereka mendatangi Yang Mulia Yamaka dan saling bertukar sapa dengannya, setelah itu mereka duduk di satu sisi dan berkata kepadanya: “Benarkah, Sahabat Yamaka, bahwa suatu pandangan sesat telah muncul dalam dirimu: ‘Seperti yang kupahami sehubungan dengan Dhamma yang diajarkan oleh Sang Bhagavā, seorang bhikkhu yang noda-nodanya telah dihancurkan akan musnah dan lenyap dengan hancurnya jasmani dan tidak ada lagi setelah kematian’?”
“Benar, sahabat-sahabat. Seperti yang kupahami sehubungan dengan Dhamma yang diajarkan oleh Sang Bhagavā, seorang bhikkhu yang noda-nodanya telah dihancurkan akan musnah dan lenyap dengan hancurnya jasmani dan tidak ada lagi setelah kematian.”
“Sahabat Yamaka, jangan berkata seperti itu. Jangan keliru menafsirkan Sang Bhagavā. Tidaklah baik secara keliru menafsirkan Sang Bhagavā. Sang Bhagavā tidak mengatakan bahwa: ‘Seorang bhikkhu yang noda-nodanya telah dihancurkan akan musnah dan lenyap dengan hancurnya jasmani dan tidak ada lagi setelah kematian.’”
Namun, walaupun ia dinasihati oleh para bhikkhu seperti itu, Yang Mulia Yamaka masih keras kepala menganut pandangan sesat itu, melekat pada pandangan itu, dan menyatakan: “Seperti yang kupahami sehubungan dengan Dhamma yang diajarkan oleh Sang Bhagavā, seorang bhikkhu yang noda-nodanya telah dihancurkan akan musnah dan lenyap dengan hancurnya jasmani dan tidak ada lagi setelah kematian.”
Karena para bhikkhu itu tidak mampu melepaskan Yang Mulia Yamaka dari pandangan sesat itu, mereka bangkit dari duduknya, mendekati Yang Mulia Sāriputta, dan memberitahukan semua yang terjadi, dan menambahkan: “Sudilah Yang Mulia Sāriputta mendatangi Bhikkhu Yamaka demi belas kasih kepadanya.” Yang Mulia Sāriputta menyetujui dengan berdiam diri.
Kemudian, pada malam harinya, Yang Mulia Sāriputta keluar dari keheningannya, ia mendekati Yang Mulia Yamaka dan saling bertukar sapa dengannya, setelah itu ia duduk di satu sisi dan berkata kepadanya: “Benarkah, sahabat Yamaka, bahwa suatu pandangan sesat telah muncul dalam dirimu: ‘Seperti yang kupahami sehubungan dengan Dhamma yang diajarkan oleh Sang Bhagavā, seorang bhikkhu yang noda-nodanya telah dihancurkan akan musnah dan lenyap dengan hancurnya jasmani dan tidak ada lagi setelah kematian’?”
“Benar, sahabat.”
“Bagaimana menurutmu, sahabat Yamaka, apakah bentuk adalah kekal atau tidak kekal?”—“Tidak kekal, sahabat.”—“Oleh karena itu … Melihat demikian … Ia memahami: ‘… tidak ada lagi penjelmaan dalam kondisi makhluk apa pun.’
“Bagaimana menurutmu, sahabat Yamaka, apakah engkau menganggap bentuk sebagai Sang Tathāgata?”—“Tidak, sahabat.”—“Apakah engkau menganggap perasaan … persepsi … bentukan-bentukan kehendak … kesadaran sebagai Sang Tathāgata?”—“Tidak, sahabat.”
“Bagaimana menurutmu, sahabat Yamaka, apakah engkau menganggap Sang Tathāgata sebagai di dalam bentuk?”—“Tidak, sahabat.”—“Apakah engkau menganggap Sang Tathāgata terpisah dari bentuk?”—“Tidak, sahabat.” “Apakah engkau menganggap Sang Tathāgata sebagai di dalam perasaan? Terpisah dari perasaan? Sebagai di dalam persepsi? Terpisah dari persepsi? Sebagai di dalam bentukan-bentukan kehendak? Terpisah dari bentukan-bentukan kehendak? Sebagai di dalam kesadaran? Terpisah dari kesadaran?”—“Tidak, sahabat.”
“Bagaimana menurutmu, sahabat Yamaka, apakah engkau menganggap bentuk, perasaan, persepsi, bentukan-bentukan kehendak, dan kesadaran [secara keseluruhan] sebagai Sang Tathāgata?”—“Tidak, sahabat.”
“Bagaimana menurutmu, sahabat Yamaka, apakah engkau menganggap Sang Tathāgata sebagai seorang yang tanpa bentuk, tanpa perasaan, tanpa persepsi, tanpa bentukan-bentukan kehendak, tanpa kesadaran?”—“Tidak, sahabat.”
“Tetapi, sahabat, jika Sang Tathāgata tidak engkau pahami sebagai nyata dan sebenar-benarnya di sini dalam kehidupan ini, pantaskah engkau menyatakan: ‘Seperti yang kupahami sehubungan dengan Dhamma yang diajarkan oleh Sang Bhagavā, seorang bhikkhu yang noda-nodanya telah dihancurkan akan musnah dan lenyap dengan hancurnya jasmani dan tidak ada lagi setelah kematian’?”
“Sebelumnya, sahabat Sāriputta, ketika aku masih bodoh, aku memang menganut pandangan sesat, tetapi sekarang setelah aku mendengarkan Ajaran Dhamma ini dari Yang Mulia Sāriputta aku telah melepaskan pandangan sesat itu dan telah menembus Dhamma.”
“Jika, sahabat Yamaka, mereka bertanya kepadamu: ‘Sahabat Yamaka, ketika seorang bhikkhu telah menjadi seorang Arahant, seorang yang noda-nodanya telah dihancurkan, apakah yang terjadi padanya saat hancurnya jasmani, setelah kematian?’—ditanya demikian, apakah jawabanmu?”
“Jika mereka bertanya kepadaku seperti itu, sahabat, aku akan menjawab: ‘Sahabat, bentuk adalah tidak kekal; apa yang tidak kekal adalah penderitaan; apa yang merupakan penderitaan telah lenyap dan berlalu. Perasaan … Persepsi … Bentukan-bentukan kehendak … Kesadaran adalah tidak kekal; apa yang tidak kekal adalah penderitaan; apa yang merupakan penderitaan telah lenyap dan berlalu.’ Ditanya demikian, sahabat, aku akan menjawab seperti itu.”
“Bagus, bagus, sahabat Yamaka! Sekarang, sahabat Yamaka, aku akan memberikan perumpamaan kepadamu untuk menyampaikan makna yang sama dengan lebih jelas lagi. Misalkan, sahabat Yamaka, ada seorang perumah tangga atau putra perumah tangga, seorang kaya, dengan harta kekayaan berlimpah, dijaga oleh seorang pengawal. Kemudian seseorang ingin menghancurkannya, mencelakainya, membahayakannya, membunuhnya. Orang itu akan berpikir: ‘Perumah tangga atau putra perumah tangga ini adalah seorang kaya, dengan harta kekayaan berlimpah, dijaga oleh seorang pengawal. Tidaklah mudah untuk membunuhnya. Biarlah aku mendekatinya dan kemudian membunuhnya.’
“Kemudian ia akan mendatangi perumah tangga atau putra perumah tangga itu dan berkata kepadanya: ‘Aku akan bekerja untukmu, tuan.’ Kemudian perumah tangga atau putra perumah tangga itu mengangkatnya menjadi pelayannya. Orang itu akan melayaninya, bangun tidur sebelum orang itu, pergi tidur setelah orang itu, melakukan apa pun yang ia inginkan, perbuatannya menyenangkan, kata-katanya menyenangkan. Perumah tangga atau putra perumah tangga itu menganggapnya sebagai seorang teman, teman akrab, dan ia mempercayainya. Tetapi ketika orang itu menyadari bahwa perumah tangga atau putra perumah tangga itu telah mempercayainya, kemudian, ketika ia sendirian, ia membunuhnya dengan pisau tajam.
“Bagaimana menurutmu, sahabat Yamaka, ketika orang itu mendatangi perumah tangga atau putra perumah tangga itu dan berkata kepadanya: ‘Aku akan bekerja untukmu, tuan,’ bukankah ia adalah seorang pembunuh bahkan walaupun yang lain tidak mengenalinya sebagai ‘pembunuhku’? Dan ketika orang itu melayaninya, bangun tidur sebelum orang itu, pergi tidur setelah orang itu, melakukan apa pun yang ia inginkan, perbuatannya menyenangkan, kata-katanya menyenangkan, bukankah ia adalah seorang pembunuh, walaupun yang lain tidak mengenalinya sebagai ‘pembunuhku’? Dan ketika orang itu mendatanginya ketika ia sedang sendirian dan membunuhnya dengan pisau tajam, bukankah ia adalah seorang pembunuh, walaupun yang lain tidak mengenalinya sebagai ‘pembunuhku’?”
“Benar, sahabat.”
“Demikian pula, sahabat Yamaka, kaum duniawi yang tidak terpelajar, yang bukan salah satu di antara para mulia dan tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka, yang bukan salah satu di antara orang-orang superior dan tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka, menganggap bentuk sebagai diri, atau diri sebagai memiliki bentuk, atau bentuk sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam bentuk.
“Ia menganggap perasaan sebagai diri … persepsi sebagai diri … bentukan-bentukan kehendak sebagai diri … kesadaran sebagai diri, atau diri sebagai memiliki kesadaran, atau kesadaran sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam kesadaran.
“Ia tidak memahami sebagaimana adanya bentuk yang tidak kekal sebagai ‘bentuk yang tidak kekal’ … perasaan yang tidak kekal sebagai ‘perasaan yang tidak kekal’ … persepsi yang tidak kekal sebagai ‘persepsi yang tidak kekal’ … bentukan-bentukan kehendak yang tidak kekal sebagai ‘bentukan-bentukan kehendak yang tidak kekal’ … kesadaran yang tidak kekal sebagai ‘kesadaran yang tidak kekal.’
“Ia tidak memahami sebagaimana adanya bentuk yang menyakitkan sebagai ‘bentuk yang menyakitkan’ … perasaan yang menyakitkan sebagai ‘perasaan yang menyakitkan’ … persepsi yang menyakitkan sebagai ‘persepsi yang menyakitkan’ … bentukan-bentukan kehendak yang menyakitkan sebagai ‘bentukan-bentukan kehendak yang menyakitkan’ … kesadaran yang menyakitkan sebagai ‘kesadaran yang menyakitkan.’
“Ia tidak memahami sebagaimana adanya bentuk yang tanpa-diri sebagai ‘bentuk yang tanpa-diri’
… perasaan yang tanpa-diri sebagai ‘perasaan yang tanpa-diri’ … persepsi yang tanpa-diri sebagai ‘persepsi yang tanpa-diri’ … bentukan-bentukan kehendak yang tanpa-diri sebagai ‘bentukan-bentukan kehendak yang tanpa-diri’ … kesadaran yang tanpa-diri sebagai ‘kesadaran yang tanpa-diri.’
“Ia tidak memahami sebagaimana adanya bentuk yang terkondisi sebagai ‘bentuk yang terkondisi’
… perasaan yang terkondisi sebagai ‘perasaan yang terkondisi’ … persepsi yang terkondisi sebagai ‘persepsi yang terkondisi’ … bentukan-bentukan kehendak yang terkondisi sebagai ‘bentukan-bentukan kehendak yang terkondisi’ … kesadaran yang terkondisi sebagai ‘kesadaran yang terkondisi.’
“Ia tidak memahami sebagaimana adanya bentuk yang bersifat membunuh sebagai ‘bentuk yang bersifat membunuh’ … perasaan yang bersifat membunuh sebagai ‘perasaan yang bersifat membunuh’ … persepsi yang bersifat membunuh sebagai ‘persepsi yang bersifat membunuh’ … bentukan-bentukan kehendak yang bersifat membunuh sebagai ‘bentukan-bentukan kehendak yang bersifat membunuh’ … kesadaran yang bersifat membunuh sebagai ‘kesadaran yang bersifat membunuh.’
“Ia menjadi terlibat dengan bentuk, melekat padanya, dan menganggapnya sebagai ‘diriku’. Ia menjadi terlibat dengan perasaan … dengan persepsi … dengan bentukan-bentukan kehendak … dengan kesadaran, melekat padanya, dan menganggapnya sebagai ‘diriku’. Lima kelompok unsur kemelekatan yang sama ini, yang padanya ia menjadi terlibat dan yang padanya ia melekat, membawanya menuju bahaya dan penderitaan dalam waktu yang lama.
“Tetapi, sahabat, siswa mulia yang terpelajar, yang merupakan salah satu dari para mulia … tidak menganggap bentuk sebagai diri, atau diri sebagai memiliki bentuk, atau bentuk sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam bentuk.
“Ia tidak menganggap perasaan sebagai diri … persepsi sebagai diri … bentukan-bentukan kehendak sebagai diri … kesadaran sebagai diri, atau diri sebagai memiliki kesadaran, atau kesadaran sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam kesadaran.
“Ia memahami sebagaimana adanya bentuk yang tidak kekal sebagai ‘bentuk yang tidak kekal’ … kesadaran yang tidak kekal sebagai ‘kesadaran yang tidak kekal.’
“Ia memahami sebagaimana adanya bentuk yang menyakitkan sebagai ‘bentuk yang menyakitkan’ … kesadaran yang menyakitkan sebagai ‘kesadaran yang menyakitkan.’
“Ia memahami sebagaimana adanya bentuk yang tanpa-diri sebagai ‘bentuk yang tanpa-diri’ … kesadaran yang tanpa-diri sebagai ‘kesadaran yang tanpa-diri.’
“Ia memahami sebagaimana adanya bentuk yang terkondisi sebagai ‘bentuk yang terkondisi’
… kesadaran yang terkondisi sebagai ‘kesadaran yang terkondisi.’
“Ia memahami sebagaimana adanya bentuk yang bersifat membunuh sebagai ‘bentuk yang bersifat membunuh’ … kesadaran yang bersifat membunuh sebagai ‘kesadaran yang bersifat membunuh.’
“Ia tidak menjadi terlibat dengan bentuk, tidak melekat padanya, dan tidak menganggapnya sebagai ‘diriku’. Ia tidak menjadi terlibat dengan perasaan … dengan persepsi … dengan bentukan-bentukan kehendak … dengan kesadaran, tidak melekat padanya, dan tidak menganggapnya sebagai ‘diriku’. Lima kelompok unsur kemelekatan yang sama ini, yang padanya ia tidak menjadi terlibat dan yang padanya ia tidak melekat, membawanya menuju kesejahteraan dan kebahagiaan dalam waktu yang lama.”
“Demikianlah, sahabat Sāriputta, bagi para mulia yang memiliki belas kasih dan merupakan saudara yang penuh cinta kasih dalam kehidupan suci ini untuk mengingatkan dan mengajarkan mereka. Dan sekarang aku telah mendengarkan ajaran Dhamma ini dari Yang Mulia Sāriputta, batinku terbebas dari noda-noda melalui ketidak-melekatan.”
Ini adalah apa yang dikatakan oleh Yang Mulia Sāriputta. Yang Mulia Yamaka senang dan gembira mendengar kata-kata Yang Mulia Sāriputta.
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com