Tunduk pada Kemunculan (1)
Samudayadhamma 1 (SN 22.126)
Di Sāvatthī. Seorang bhikkhu mendatangi Sang Bhagavā … dan berkata kepada Beliau: “Yang mulia, dikatakan, ‘ketidaktahuan, ketidaktahuan.’ Apakah, Yang Mulia, ketidaktahuan, dan bagaimanakah seseorang tenggelam dalam ketidaktahuan?”
“Di sini, bhikkhu, kaum duniawi yang tidak terpelajar tidak memahami bentuk yang tunduk pada kemunculan sebagaimana adanya sebagai: ‘Bentuk tunduk pada kemunculan.’ Ia tidak memahami bentuk yang tunduk pada kelenyapan sebagaimana adanya sebagai: ‘Bentuk tunduk pada kelenyapan.’ Ia tidak memahami bentuk yang tunduk pada kemunculan dan kelenyapan sebagaimana adanya sebagai: ‘Bentuk tunduk pada kemunculan dan kelenyapan.’ Ia tidak memahami perasaan … persepsi … bentukan-bentukan kehendak … kesadaran yang tunduk pada kemunculan … yang tunduk pada kelenyapan … yang tunduk pada kemunculan dan kelenyapan sebagaimana adanya sebagai: ‘Kesadaran tunduk pada kemunculan dan kelenyapan.’
“Ini disebut ketidaktahuan, bhikkhu, dan dengan cara demikianlah seseorang tenggelam dalam ketidaktahuan.”
Ketika hal ini dikatakan, bhikkhu itu berkata kepada Sang Bhagavā:
“Yang Mulia, dikatakan, ‘pengetahuan sejati, pengetahuan sejati.’ Apakah, Yang Mulia, pengetahuan sejati, dan bagaimanakah seseorang sampai pada pengetahuan sejati?”
“Di sini, bhikkhu, siswa mulia yang terpelajar memahami bentuk yang tunduk pada kemunculan sebagaimana adanya sebagai: ‘Bentuk tunduk pada kemunculan.’ Ia memahami bentuk yang tunduk pada kelenyapan sebagaimana adanya sebagai: ‘Bentuk tunduk pada kelenyapan.’ Ia memahami bentuk yang tunduk pada kemunculan dan kelenyapan sebagaimana adanya sebagai: ‘Bentuk tunduk pada kemunculan dan kelenyapan.’ Ia memahami perasaan … persepsi … bentukan-bentukan kehendak … kesadaran yang tunduk pada kemunculan … yang tunduk pada kelenyapan … yang tunduk pada kemunculan dan kelenyapan sebagaimana adanya sebagai: ‘Kesadaran tunduk pada kemunculan dan kelenyapan.’
“Ini disebut pengetahuan sejati, bhikkhu, dan dengan cara demikianlah seseorang sampai pada pengetahuan sejati.”
“Di sini, bhikkhu, kaum duniawi yang tidak terpelajar tidak memahami bentuk yang tunduk pada kemunculan sebagaimana adanya sebagai: ‘Bentuk tunduk pada kemunculan.’ Ia tidak memahami bentuk yang tunduk pada kelenyapan sebagaimana adanya sebagai: ‘Bentuk tunduk pada kelenyapan.’ Ia tidak memahami bentuk yang tunduk pada kemunculan dan kelenyapan sebagaimana adanya sebagai: ‘Bentuk tunduk pada kemunculan dan kelenyapan.’ Ia tidak memahami perasaan … persepsi … bentukan-bentukan kehendak … kesadaran yang tunduk pada kemunculan … yang tunduk pada kelenyapan … yang tunduk pada kemunculan dan kelenyapan sebagaimana adanya sebagai: ‘Kesadaran tunduk pada kemunculan dan kelenyapan.’
“Ini disebut ketidaktahuan, bhikkhu, dan dengan cara demikianlah seseorang tenggelam dalam ketidaktahuan.”
Ketika hal ini dikatakan, bhikkhu itu berkata kepada Sang Bhagavā:
“Yang Mulia, dikatakan, ‘pengetahuan sejati, pengetahuan sejati.’ Apakah, Yang Mulia, pengetahuan sejati, dan bagaimanakah seseorang sampai pada pengetahuan sejati?”
“Di sini, bhikkhu, siswa mulia yang terpelajar memahami bentuk yang tunduk pada kemunculan sebagaimana adanya sebagai: ‘Bentuk tunduk pada kemunculan.’ Ia memahami bentuk yang tunduk pada kelenyapan sebagaimana adanya sebagai: ‘Bentuk tunduk pada kelenyapan.’ Ia memahami bentuk yang tunduk pada kemunculan dan kelenyapan sebagaimana adanya sebagai: ‘Bentuk tunduk pada kemunculan dan kelenyapan.’ Ia memahami perasaan … persepsi … bentukan-bentukan kehendak … kesadaran yang tunduk pada kemunculan … yang tunduk pada kelenyapan … yang tunduk pada kemunculan dan kelenyapan sebagaimana adanya sebagai: ‘Kesadaran tunduk pada kemunculan dan kelenyapan.’
“Ini disebut pengetahuan sejati, bhikkhu, dan dengan cara demikianlah seseorang sampai pada pengetahuan sejati.”
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com